Sandiwara Politik

Adem juga melihat salah satu foto yang diunggah oleh Jokowi beberapa waktu yang lalu di akun instagramnya. Di foto tersebut terlihat para ketua umum partai koalisi pemerintah duduk dalam satu meja di istana. Kalimat pada kepsyen yang paling adem adalah “Siang ini saya menerima kedatangan para tokoh, ketua umum partai politik koalisi pemerintah di istana. Kami bertemu di ruang Presidential Lounge dalam suasana yang hangat dan akrab.”

Para ketua umum partai yang hadir adalah Surya Paloh (Nasdem), Megawati (PDIP), Cak Imin, eh, sekarang sudah jadi Gus Imin (PKB), Suharso (PPP), Prabowo (Gerindra), Erlangga Hartanto (Golkar), dan Zulkifli Hasan (PAN). Dua atau tiga hari setelah pertemuan ini Zulkifli Hasan menjadi menteri perdagangan menggantikan Muhammad Lutfi yang mantan dubes Indonesia untuk Amerika Serikat itu.

Tokoh-tokoh di atas telah menghiasi perpolitikan Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Hanya mereka-mereka saja. Tidak ada orang baru. Jadi wajar sebagian masyarakat Indonesia merasa bosan melihat muka-muka lama ini. Mereka kadang baku hantam dan saling menyerang di satu pilpres, tapi di pilpres berikutnya mereka berkawan. Mereka adalah orang-orang yang pandai bersandiwara politik. Hanya Jokowi yang terbilang orang baru dan relatif lurus—lurus karirnya, maksud saya.

Di Pilpres 2009, Cak Imin, Suharso, dan Erlangga masuk kubu SBY untuk menghantam Mega-Prabowo. Lantas Paloh memosisikan dirinya netral, tapi lebih condong ke kubu SBY. Di Pilpres 2014, Zulkifli Hasan dan Prabowo saling hantam dengan kubu Megawati-Paloh yang mengusung Jokowi. Di Pilpres 2019, Megawati, Surya Paloh, Cak Imin, Suharso, dan Jokowi menghantam Prabowo dan Zulkifli Hasan. Terkait Zulkifli Hasan, kadang dia main dua kaki. Amien Rais, mantan besannya sekaligus pendiri PAN bersikukuh agar PAN menjadi partai oposisi. Tapi Zulkifli yang juga ingin partainya masuk kekuasaan menghindar dan cenderung melawan Amien Rais. Dapatlah PAN kursi menteri.

Amien Rais, karena tidak puas melihat beberapa anak didiknya tidak menurut, dia dirikan Partai Ummat. Capek juga Mbah Amien mengondisikan Zulkifli Hasan, cs itu. Hubungan Mega dan Paloh juga tidak mulus-mulus amat. Beberapa saat setelah hasil Pilpres 2019 keluar, Paloh mengundang Anies Baswedan ke kantornya. Mungkin Megawati membatin, belum apa-apa sudah pikirkan Pilpres 2024. Beberapa media memberitakan  Megawati tidak mau salaman dengan Paloh di acara pelantikan Jokowi di bukan Oktober 2019. Kabarnya Megawati tersinggung. Konon, Paloh melakukan itu karena tersinggung tidak dapat jatah kursi menteri yang lebih banyak, padahal merasa sudah berkeringat memenangkan Jokowi.

Terkait Jokowi, ia memang memainkan politik tanpa beban. Pada periode kedua, ia lebih rileks. Memasukkan Prabowo di kabinet tentu ada risikonya; partai koalisi yang sejak awal sudah berjuang mungkin saja kesal. Tapi Jokowi sudah berada di periode penghabisan. Yang dipikirkan Jokowi hanyalah bagaimana memperbanyak kawan, sehingga di Senayan tidak terlalu banyak perlawanan dan kegaduhan politik.

Jika menoleh betapa panasnya Pilpres 2019, sebagian dari kita mungkin tidak akan pernah membayangkan Prabowo akan masuk kekuasaan pemerintah. Tapi begitulah politik: licin dan luwes. Hari ini bisa saling menyerang, esok atau lusa mereka bisa bermesraan dan berkawan. Semua demi kekuasaan—dan pengabdian kepada bangsa, katanya.

Sejujurnya sebagai rakyat, saya kagum dengan sandiwara politik yang dimainkan oleh para ketua umum partai itu. Mereka kadang saling menyerang seolah-seolah lawan tak ada benarnya, tapi di lain kesempatan, mereka bermesraan. Mereka profesional, bahkan sangat profesional dalam bersandiwara.

Satu-satunya yang membuat saya kasihan dan miris adalah melihat para pendukung mereka yang sudah terlanjur bermusuhan, baper, dan berjuang keras mempertahankan dukungan atas calon dan partai yang mereka dukung. Belum habis kekecewaan dan air mata pendukung, para elit sudah berakrobat dan memulai babak sandiwara yang baru.

Kita tidak tahu sandiwara politik apa lagi yang akan disuguhkan oleh para ketua umum itu. Dengar-dengar PDIP, sekalipun di atas angin, ingin berkoalisi dengan Gerindra untuk menghantam Golkar, PPP, dan Demokrat. Atau, ada juga kabar Gerindra-PKB mau bersatu untuk menghantam PDIP di Pilpres 2024.

Kita lihat saja bagaimana sandiwara politik yang lebih segar dan tak terduga yang dimainkan oleh para politikus itu menuju Pilpres 2024. Pesan saya: jangan mudah percaya. Jangan sampai nanti dibuat kecewa lagi. Hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama.

 

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *