Penyakit Umat Islam Hari Ini
Sebenarnya, persoalan Palestina-Israel itu sederhana saja melihatnya: masing-masing pihak menjaga lahan dan tanahnya. Ibaratnya, kalau ada orang mencoba mencaplok halaman rumah kamu, otomatis kamu akan membacok orang itu. Maka terjadilah konflik. Murni ini konflik politis, lalu merembet ke aspek etnis dan agama karena terpolitisasi. Dalam konteks ini, saya kadang dengan bercanda “menyalahkan” Nabi Ibrahim: sudah tahu punya dua istri, dan melahirkan masing-masing seorang anak, yaitu Ismail dan Ishak, seharusnya Bapak Ibrahim dengan jelas mewariskan mana bagian Ismail, mana bagian Ishak. Karena itu, terjadilah perselisihan sampai hari ini. Atau, kalau ditarik ke belakang, Bapak Ibrahim seharusnya bersabar jangan menikah atau punya istri lagi, biar konflik hari ini tidak muncul.
Tapi dari sisi geopolitik hari ini, persoalan Palestina-Israel adalah titik kulminasi dari kegagalan dan lemahnya negara-negara Islam dalam mewujudkan persatuan di kalangan umat Islam. Tapi, kembali lagi, ini urusan politik. Saudi Arabia bersekutu dengan Amerika Serikat, dan masih malu membuka hubungan diplomatik dengan Israel. MBS dan PM Netanyahu bertemu secara rahasia di wilayah bagian barat Saudi Arabia. Mesir juga begitu. Setiap negara Islam punya kepentingan ‘rumah tangga’ masing-masing. Jadi urusan Palestina bukan prioritas.
Tapi masalahnya, yang disalahkan oleh sebagian orang Islam hari ini adalah Amerika Serikat dan Israel. Namanya juga politik, semua ada cost dan rasional choice-nya. Kali ini bukan soal Palestina-Israel yang ingin saya bahas, tapi kebiasaan sebagian orang Islam hari ini yang selalu mencari kambing hitam atas berbagai permasalahan umat. Saking seringnya, mereka jadi lupa melakukan otokritik, bahwa ada banyak sekali kelemahan umat Islam yang seharusnya dibenahi.
Ada budaya Barat masuk. Bukannya berupaya dengan bijaksana melakukan akulturasi atau meningkatkan konsistensi dalam mempertahankan budaya sendiri, yang dilakukan justru menyalahkan perubahan dan globalisasi. Budaya menyalahkan ini sudah jadi penyakit akut umat Islam hari ini. Ketika ada masalah, segera cari kambing hitam: Amerika, Barat, Zionis, atau siapa pun yang dianggap musuh abadi. Padahal, kalau mau jujur, banyak masalah umat yang justru lahir dari dalam diri sendiri. Korupsi merajalela di negara-negara Muslim, tapi siapa yang disalahkan? Sistem Barat yang katanya memicu hedonisme. Pendidikan tertinggal? Katanya, konspirasi global yang menahan kemajuan umat. Sebenarnya, yang perlu diakui adalah malasnya kita membenahi diri sendiri.
Mari kita ambil contoh soal sains dan teknologi. Di zaman keemasan Islam, ilmuwan-ilmuwan Muslim memimpin di berbagai bidang: astronomi, kedokteran, matematika, sebut saja. Tapi sekarang? Alih-alih memajukan riset dan inovasi, kita sibuk memperdebatkan hal-hal yang tidak esensial. Teknologi dianggap alat Barat yang akan merusak moral umat. Ketinggalan zaman dianggap kebanggaan, sementara keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan dianggap bentuk ‘penjajahan budaya’. Ironisnya, di balik itu, kita tetap memakai gadget buatan Barat dan menyalahkan mereka atas degradasi moral kita.
Lalu, soal persatuan umat? Itu hanya jargon kosong yang didengung-dengungkan di podium. Setiap kali bicara tentang persatuan Islam, faktanya negara-negara Muslim justru sibuk mengurus kepentingan masing-masing. Ketika ada krisis di satu negara Muslim, negara tetangga lebih sibuk menyiapkan konferensi dan pernyataan kosong, tapi di balik layar mereka justru mendukung pihak-pihak yang menjaga kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri. Bukankah ini paradoks besar?
Dan yang paling menyedihkan adalah sikap umat yang lebih suka merengek daripada bekerja. Alih-alih mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki diri, sebagian dari kita lebih memilih memprotes, menyalahkan pihak luar, dan berharap solusi jatuh dari langit. Padahal, kalau mau jujur, banyak problem yang hanya bisa diselesaikan kalau kita mulai berbenah diri. Tanpa otokritik dan tindakan nyata, kita hanya akan terjebak dalam lingkaran menyalahkan tanpa ada perubahan nyata.
Pada akhirnya, umat Islam sepertinya lebih suka menjadi korban daripada pahlawan. Setiap kali ada isu, kita selalu siap berperan sebagai korban kezaliman global, menuduh semua pihak luar yang mengatur konspirasi besar untuk menjatuhkan kita. Tapi anehnya, meski kita sering mengklaim diri sebagai korban, tidak pernah terdengar ada gerakan besar untuk memperbaiki keadaan. Mungkin memang lebih nyaman meratap dan mengutuk daripada mengotori tangan dengan kerja keras yang sungguh-sungguh. Toh, lebih mudah menyalahkan Barat dan globalisasi daripada mengakui kita malas.
Kita juga tampaknya sangat ahli dalam menciptakan kambing hitam baru setiap kali masalah muncul. Ada krisis ekonomi? Salahkan kapitalisme. Ada masalah moral? Salahkan budaya pop Barat. Padahal, kalau mau jujur, kapitalisme kita adopsi sendiri, dan moral kita rusak oleh kebodohan kita sendiri. Tapi, mengakui kesalahan sendiri jelas terlalu berat. Bagaimanapun, menjadi korban jauh lebih mulia, apalagi kalau bisa sekaligus menyalahkan musuh abadi seperti Amerika atau Zionis. Siapa peduli bahwa sebagian besar masalah kita adalah hasil dari keputusan yang kita buat sendiri?
Jadi, mari teruskan tradisi mulia ini: menyalahkan semua orang, kecuali diri kita sendiri. Biarkan umat lain maju dengan inovasi dan kerja keras mereka, sementara kita duduk di belakang, sibuk mencari teori konspirasi yang semakin absurd. Toh, pada akhirnya, selagi kita terus saling menyalahkan dan berpuas diri dalam kebodohan, dunia akan tetap berjalan tanpa kita.[]