Generasi Muslim Harus Liberal

Beberapa hari yang lalu, ada acara diskusi bertemakan pemanasan global dan masalah-masalah sosial masa kini. Seorang anak muda diminta pendapatnya. Dia menguraikan bahwa pemanasan global adalah konspirasi elite dan Amerika Serikat. Sebagai catatan, kegiatan diskusi tersebut diadakan oleh sebuah komunitas pemuda Islam.

Waduh, saya yang juga hadir di situ geleng-geleng kepala. Apa seperti ini kualitas generasi muda muslim sekarang? Tapi, anak muda itu tidak salah. Dia masih muda dan kuliah semester awal. Justru, menurut saya, yang salah adalah orang-orang tua atau para seniornya di komunitas atau organisasinya, yang mendoktrin bahwa seolah-olah permasalahan di dunia ini konspirasi global, Amerika Serikat, atau paling jauh adalah Yahudi. Salahnya lagi, para orang tua dan seniornya jarang mengajarkan generasi muda muslim ini untuk berpikir kritis dan akademis. Atau, jangan-jangan mereka menganggap bahwa sikap curiga terhadap Amerika Serikat atau Yahudi adalah bagian dari sikap kritis?

Kalau begitu, kita patut bertanya: apakah “kritis” yang dimaksud itu sekadar mencurigai semua yang datang dari luar, atau justru menolak untuk melihat realitas yang lebih luas? Jangan-jangan, kritis di sini hanyalah topeng untuk menyembunyikan ketakutan terhadap pemikiran yang berbeda. Bukankah seharusnya berpikir kritis itu menuntut kita untuk mempertanyakan apa pun, termasuk apa yang diajarkan oleh senior-senior kita sendiri? Tapi nyatanya, yang sering kita temui adalah kebiasaan menelan mentah-mentah ideologi atau doktrin yang diulang-ulang tanpa ada upaya untuk benar-benar memahami konteksnya.

Apakah ini yang kita sebut sebagai “generasi cerdas” yang dibanggakan oleh komunitas muslim? Generasi yang lebih sibuk mencari kambing hitam daripada memecahkan masalah? Alih-alih mendalami masalah, mereka malah menghabiskan waktu untuk menyusun teori konspirasi yang tak ada ujungnya. Dan ironisnya, mereka menganggap inilah “kebenaran”. Pemanasan global, misalnya. Bukannya belajar tentang perubahan iklim dari perspektif ilmiah, mereka malah sibuk menuding Amerika atau Yahudi sebagai biang keladi. Seolah-olah dengan menunjuk jari ke luar, kita bisa menghindar dari tanggung jawab untuk benar-benar memahami dan bertindak.

Mengambinghitamkan pihak lain atas permasalahan-permasalahan yang terjadi pada umat seolah-olah sudah menjadi tradisi yang diwariskan, alih-alih belajar dan memperluas wawasan.

Lucu juga sebenarnya, kita mengklaim Islam sebagai agama ilmu pengetahuan, tetapi sering kali menolak bukti ilmiah ketika tidak sesuai dengan narasi yang sudah ditanamkan. Mungkin inilah yang disebut dengan ketakutan terhadap “liberalisme”, ketakutan untuk berpikir bebas dan terbuka. Padahal, berpikir liberal bukan berarti menolak agama, tetapi justru memperluas cakrawala pemikiran agar kita tidak menjadi korban kebodohan kolektif. Atau mungkin, inilah yang sebenarnya mereka takutkan—bahwa generasi muslim yang mulai berpikir kritis dan liberal bisa melihat celah-celah dalam narasi besar yang selama ini mereka agung-agungkan.

Generasi muslim perlu berpikir liberal. Iya, saya bilang perlu. Karena berpikir liberal bukanlah berarti meninggalkan iman atau nilai-nilai agama. Justru sebaliknya, berpikir liberal adalah tentang keterbukaan terhadap ilmu dan kebenaran yang lebih luas, termasuk kebenaran ilmiah. Jika kita hanya terkungkung dalam doktrin sempit dan menganggap setiap masalah global sebagai konspirasi, bagaimana mungkin kita bisa maju? Apakah kita akan terus-menerus terjebak dalam paranoia dan ketakutan terhadap hal-hal yang tidak kita pahami? Sudah saatnya generasi muslim berani membuka mata, menantang pandangan-pandangan lama yang stagnan, dan mencari solusi nyata yang berbasis pengetahuan, bukan sekadar sentimen.

Para sumbu pendek dan si mabuk agama akan menentang penggunaan terminologi liberal ini. Sebab, betapa sempitnya pemaknaan mereka terhadap kata liberal.[]

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *