Perlunya Dendam Politik
Seorang dekan terpilih memilih tim suksesnya untuk menduduki jabatan wakil dekan, itu wajar-wajar saja. Lalu, ia menghukum lawan-lawannya dengan tidak memberi jabatan apa pun, ya, wajar-wajar saja. Anda jangan pernah mengira bahwa di kampus-kampus tidak ada prakris politik. Bahkan di sana jauh lebih keras. Seorang dosen kami bercerita betapa kerasnya politik dan persaingan di kampus. Mereka, para dosen itu, bahkan gontok-gontokkan untuk mencapai puncak. Yang mencari muka pada pimpinan juga tidak sedikit. Para dosen kelompok pemenang mengebiri dan membalas dendam pada kelompok dosen kelompok pecundang.
Seorang bupati terpilih melakukan mutasi besar-besaran pada loyalis atau yang dikategorikan orang-orang dari rezim lama, itu wajar-wajar saja. Sangat wajar juga ketika seorang gubernur baru melakukan pembersihan atas orang-orang lama yang diidentifikasi sebagai orang gubernur lama. Atau, dulu pada awal Jokowi memimpin, semua orangnya SBY diberangus, lalu diganti dengan orang-orangnya Jokowi, itu juga sangat lumrah dalam politik. Pembersihan, pemberangusan, atau mematikan langkah lawan atau yang berpotensi menjadi lawan politik adalah hal yang biasa. Itu bagian dari wujud nyata dan perlunya dendam politik.
Ketika menjadi seorang pemimpin, Anda perlu mengondisikan dan mematikan gerak langkah lawan politik Anda, sehingga mereka tidak menjadi benalu atau parasit yang mengganggu jalannya pemerintahan yang Anda pimpin. Itu sangat lumrah. Jangan sampai ketika terlalu bijaksana dan baik hati pada lawan politik, Anda ditusuk dari belakang. Ingat! Anak kucing memang terlihat menggemaskan, tapi ketika besarnya ia akan mencakar. Maka sebaiknya diselesaikan saja biar tidak menjadi duri dalam daging atau menggunting dalam lipatan.
Dalam sistem demokratis, menurut saya, dendam politik sangat diperlukan. Demokrasi tidak akan dinamis dan tumbuh subur tanpa dendam politik di antara politisi atau siapa pun yang terlibat dalam sistem tersebut. Jamak dengan itu, demokrasi tidak akan tumbuh subur tanpa baku hantam pada tataran ide antarpolitisi.
Anda yang mengatakan saya mencetuskan teori atau paham radikal terkait dendam politik ini mungkin belum pernah memegang kekuasan. Anda naif pada gagasan yang saya sampaikan. Tapi saya yakin, ketika berada di puncak kekuasaan, Anda akan bersikap bengis pada lawan politik. Jauh lebih keras dari Jokowi yang tega tidak memberikan ucapan selamat ulang tahun pada HUT Partai Nasdem beberapa waktu yang lalu karena boleh jadi ia kesal pada Paloh yang gencar mengusung Anies.
Terus terang saja, bahwa memelihara musuh lalu memperlakukan mereka dengan keras dan dendam adalah satu satu cara seseorang eksis dalam bidang apa pun, termasuk dalam politik praktis. Saya mungkin salah satu orang yang menganut paham pragmatisme dalam politik praktis. Kalau ada lawan politik yang berpontesi merepotkan, sebaiknya diselesaikan dan dimatikan gerak langkahnya. “Wis, pateni wae,” kata Soeharto. Sudah, matikan saja, katanya.
Mengapa dendam politik diperlukan? Pertama, Anda perlu memberi pelajaran pada orang-orang yang melawan dan memusuhi Anda secara politik. Mereka pantas mendapatkan bagiannya. Anda tidak perlu bersikap baik pada mereka. Toh, kalau mereka menjadi pemenang, Anda pasti dimakan, dihabisi, dan diperlakukan dengan dendam politik yang membara. Mumpung Anda memegang kekuasaan, perlakukan lawan politik Anda dengan keras dan tanpa ampun.
Kedua, menjadi dorongan dan motivasi Anda untuk terus maju. Makin kencang Anda mencekik lawan politik Anda, makin keras gonggongan mereka. Makin sempit Anda memberi ruang gerak pada mereka, makin keras perlawanan mereka. Gonggongan dan perlawanan yang kencang itu mendorong Anda untuk kreatif melanggengkan kekuasaan. Siapa yang tidak ingin kekuasaan? Orang-orang yang mengatakan tidak butuh kekuasaan adalah mereka yang sedang bersikap omong kosong. Ronaldo dan Messi adalah dua pesepak bola terbaik di dunia saat ini. Suatu waktu, Ronaldo mengatakan bahwa ia dan Messi saling mem-push sehingga menjadi yang terbaik. Mereka berbaku hantam dalam sepak bola, sehingga mencapai posisi dan banyak rekor. Messi tidak akan sehebat sekarang tanpa persaingan dengan Ronaldo, sebaliknya pun begitu. Dunia sepak bola terasa membosankan kalau Messi mendapatkan Ballon d’or setiap tahunnya.
Kalau Anda adalah Ronaldo, Anda butuh Messi untuk mem-push Anda. Anda perlu berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan lawan politik Anda. Makin besar upaya mereka untuk menjatuhkan Anda, makin kreatif Anda untuk mematikan mereka.
Ketiga, memelihara lawan. Dendam politik diperlukan untuk memelihara lawan. Hidup tanpa lawan adalah hidup yang hambar. Dalam hidup, termasuk dalam politik, Anda perlu memelihara lawan untuk memicu Anda jauh lebih baik dan inovatif. Dengan melakukan dendam politik, otomatis lawan politik Anda akan tercekik dan berteriak. Muncullah perlawanan itu. Ketika dilawan, Anda terdorong untuk kreatif memikirkan strategi untuk mematikan langkah mereka. Ketika mereka kalah, langgenglah kekuasaan yang Anda pegang.
Keempat, demokrasi lebih hidup. Zaman SBY, sebagian besar partai masuk dalam koalisi pemerintahan. Hanya PDI-P yang konsisten mengambil posisi berlawanan. Karena itu, perlawanan tidak cukup tampak. SBY dinilai oleh pihak-pihak tertentu memimpin tanpa cela. Padahal, kekurangan SBY banyak. Salah satu buktinya adalah terciptalah Candi Hambalang itu. Lain hal dengan Jokowi. Ia mendapatkan perlawanan dari beberapa pihak. Dan saya yakin Jokowi menikmati itu. Boleh jadi kelompok-kelompok yang melawan itu sengaja dibiarkan agar terus melawan, sehingga Jokowi terus kreatif dan inovatif mencari cara untuk maju.
Sun Tzu, si pakar perang kuno asal China pernah mengatakan, “Dekatlah kepada kawanmu, tapi jauh lebih dekatlah dengan lawanmu.” Memelihara dendam politik adalah salah satu cara menjalin kedekatan dengan lawan politik Anda.
Mungkin ada yang mengatakan, “Loh, memelihara dendam itu tidak baik.” Jawab saja, “Saya bukan nabi yang meski dilempar masih bersabar untuk tidak melawan.” Dunia sekarang ini sangat keras. Pilihannya hanya dua: dimakan atau memakan.