Ragu Anies Menang—Minimal Nyapres
Kabar terbaru mengungkapkan Demokrat “ngambek”. Politisi PKS, Ali Sera menanggapi kalau Demokrat keluar, tinggal NasDem dan PKS. Itu tidak bisa mengusung Anies. Syukur-syukur kalau Golkar ikut gabung. Tapi, ‘kan partai lain juga pasti banyak pertimbangan. Pertimbangkan apa? Mereka harus mencari capres yang memiliki probabilitas menangnya lebih besar.
Tidak ada info spesifik mengapa Demokrat mengambek. Tapi mudah saja diterka: ini tidak jauh dari urusan cawapres. Demokrat maunya Anies segera mengumumkan cawapresnya—dan AHY is the guy untuk cawapres—tapi di sisi lain NasDem berpendapat agar tidak terlalu buru-buru. Hal itu sejalan dengan upaya Anies yang terus mencari siapa kira-kira figur yang paling tepat mengisi kekurangannya dan meningkatkan elektabilitas.
Sebenarnya bisa dilihat bahwa tantangan utama Koalisi Perubahan adalah bukan karena dijegal oleh orang-orang luar, sebut saja Moeldoko, salah satunya, tapi justru dari internal koalisi itu sendiri. Koalisi ini sebenarnya sedang panas dan terancam retak.
Koalisi Perubahan juga terbentuk memang karena keterpaksaan. Demokrat bergabung dengan NasDem bukan karena pure niat politik ingin bergabung, tapi ‘kan harga dirinya mengarahkan tidak mungkin bergabung dengan pemerintah. Demokrat sudah declare sejak awal berada di luar pemerintah.
PKS juga begitu. Rasa-rasanya tidak lucu kalau PKS tiba-tiba bergabung dengan PDI-P. Pada intinya, ketiga partai ini bergabung dalam Koalisi Perubahan karena kesamaan nasib berseberangan dengan pemerintah. Loh, NasDem ‘kan pengusung Jokowi? Itu dulu. Lain ceritanya kalau sekarang. Sejak tahun 2019, NasDem sudah mengundang Anies. Itu yang bikin Mega kesal bukan main pada Paloh.
Kembali ke soal Anies. Mampukah dia menang kalau jadi nyapres? Mari kita berharap Koalisi Perubahan ini tidak bubar, meskipun kita tahu ada beberapa tanda nyata yang mengarah pada retaknya koalisi.
Kalau mau menang, seorang capres harus menguasai Jawa Timur dan Jawa Tengah. Gabungan pemilih di kedua provinsi tersebut sama dengan seperempat total pemilih seluruh Indonesia. Jawa mayoritas, men. Loe kuasai Jawa, pasti menang. Masalahnya, mampukah Anies menguasai dua provinsi itu? Rasa-rasanya hampir mustahil, ya. Sebagian besar orang di kedua provinsi tersebut adalah keturunan dan berasal dari trah Kerajaan Majapahit. Apa, iya, mereka rela menyerahkan tampuk kekuasaan di luar trah Majapahit? Ditambah lagi Anies bukan keturunan Jawa. Kita tunggu 100 tahun lagi orang non Jawa jadi presiden Indonesia, kata Kalla.
Anda harus ingat, jangankan untuk urusan presiden, sekelas pemilihan kepala desa saja, orang-orang (Jawa) pasti mempertimbangkan trah, dulu kakek dan kakek buyutnya siapa.
Salah satu cara realistis Anies bisa menarik pemilih di Jawa Timur adalah menggandeng calon dari NU. Masalahnya, orang-orang seperti Khofifah atau Yenny Wahid, kok, terkesan tidak mau jadi cawapres Anies.
Terkait sikap balas jasa Khofifah yang diusung oleh Demokrat dan endorse (baca dukungan) SBY di Pilgub Jatim beberapa tahun silam, saya kira tidak ada kaitannya dengan mau atau tidaknya Khofifah. Pengaruh SBY sudah makin memudar. Biarkan beliau fokus melukis dan membina klub volly LaVani-nya.
Anies kuasai Jawa Tengah, bagaimana? Hampir mustahil. Kepala banteng masih kuat. Berani masuk, nanti diseruduk. Jadi, kalau hitung-hitungan di atas kertas, sungguh besar keraguan Anies akan menang.
Politik juga ‘kan harus realistis. Ada sebagian pendukung Anies yang mengatakan, “Ini bukan persoalan kalah dan menang, tapi demi membela kepentingan rakyat dan ideologi.” Itu sungguh omong kosong. Mana ada orang mendukung calon yang punya potensi kalahnya lebih besar. Kalau sudah tahu akan kalah, untuk apa didukung.
Ada juga yang mengatakan begini, “Kalau menurut survei jelas nomor tiga, ngapain dijegal!” Saya tidak yakin ada yang menjegal. Tapi narasi seolah-olah ada yang jegal terus dimainkan untuk menutupi kerapuhan koalisi. Justru fakta menunjukkan bahwa tantangan Anies sesungguhnya adalah internal koalisinya sendiri. Mari jadi pendukung yang tidak buta mata dan hati. Dukung, sih, dukung, tapi bersikaplah objektif.
Kalau kasih analisis kritis seperti ini, oleh sebagian pendukung Anies pasti dianggap menjegal. Padahal ini ajakan bagi mereka agar realistis. Jangan seolah-olah tidak ada masalah dalam pencapresan kawan kita itu.