Saya Tidak Percaya Seminar Parenting

Beberapa hari yang lalu, seorang teman mengajak kami mengikuti seminar parenting. Saya tolak dengan halus. Saya hitung-hitung dalam enam bulan terakhir ada empat ajakan dan promosi seminar parenting kepada kami. Semuanya kami tolak. Saya sampaikan bahwa saya tidak percaya seminar parenting. Saya dan istri memiliki alasan mengapa menolak dan bersikap seperti itu. Tapi di sisi lain, kami tidak menyalahkan orang tua lain yang mengikuti seminar parenting. Setiap orang tua memiliki pandangan sendiri.

Sekarang ini ‘kan banyak sekali seminar parenting yang diadakan oleh berbagai. Mereka pun menghadirkan pakar. Tapi kalau dipikir-pikir, memang ada pakar parenting? Terserah Anda menganggap saya sinis. Tapi menyematkan status pakar, ahli, atau motivator parenting itu tidak cocok. Sebab, parenting tidak sama dengan teori, tapi melibatkan hati, intuisi, dan cara dari orang tua itu sendiri.

Beberapa tahun yang lalu saya bertemu dengan seseorang yang dianggap memiliki ilmu parenting yang baik. Ia menjadi tempat bertanya banyak orang. Tapi saya perhatikan ada anaknya yang nakal dan tidak jelas sekolahnya. Berarti ilmu parenting yang dia sampaikan ke banyak orang selama tidak berhasil diterapkan ke anak-anaknya sendiri?

Apa artinya? Bahwa parenting itu tidak ada pakem yang pasti. Parenting setiap orang tua berbeda. Yang didapatkan di seminar parenting adalah seolah-olah “pakar” itu memberi tahu ini, loh, cara terbaik mendidik anak. Padahal suatu parenting boleh saja berhasil untuk keluarga A, tapi belum tentu berhasil di keluarga B. Sebaliknya boleh jadi gagal di keluarga A, tapi berhasil di keluarga B. Parenting adalah keterampilan orang tua menggunakan insting dalam mendidik anak-anaknya.

Dan, bagi saya, parenting terbaik adalah cara yang diyakini benar oleh setiap orang tua. Anda tidak bisa mengarahkan semua orang tua untuk menggunakan parenting yang disampaikan oleh pakar parenting di seminar-seminar itu. Anda tidak bisa menggunakan cara pukul rata, bahwa seolah-olah parenting tertentu—yang disampaikan oleh pakar-pakar itu—berhasil semua keluarga.

Dulu, ibu saya mendidik saya dengan sangat keras. Setelah pulang sekolah, saya dilarang tidur siang dan diharuskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak untuk adik-adik, melipat pakaian, mencuci baju, menyapu rumah dan halaman. Orang di kampung saya tahu itu. Sebagian orang menyalahkan parenting keras ibu kepada saya. Bangun Pukul 5 pagi, bagi ibu saya, adalah telat. Saya diharuskan untuk mengisi air di bak sampai penuh. Air tersebut harus ditimba dari sumur. Kalau bak mandi sudah penuh, baru diperbolehkan mandi. Ibu saya terkesan tidak peduli saya telat berangkat sekolah. Bagi guru-guru saya, parenting ibu saya itu salah. Tapi ibu saya tidak peduli. Ibu saya mengatakan “Saya tahu mendidik anak saya sendiri.”

Manfaatnya apa setelah bertahun-tahun? Ternyata dulu ibu saya sedang mengajarkan saya untuk menjadi anak laki-laki yang bisa, tidak gengsi, apalagi patriarkal mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah menikah, saya bisa membantu istri saya melakukan “pekerjaan-pekerjaan perempuan”. Dalam hal bangun Pukul 5 dianggap telat, ternyata ibu saya mengajarkan untuk disiplin waktu. Saya menganggap parenting keras ibu saya itu berhasil untuk saya.

Tapi apakah parenting keras ibu saya akan berhasil di keluarga lain? Belum tentu. Saya sarankan untuk tidak ditiru. Jangankan untuk keluarga lain, ketika ibu saya menerapkan parenting keras untuk adik-adik saya, hasilnya pun gagal.

Anak saya mengidap autisme. Dokter dan beberapa orang mengatakan agar jangan memberinya gawai karena bisa memperparah autismenya. Ternyata yang terjadi sebaliknya. Anak saya bisa belajar banyak dari gawai. Dia bisa membaca dengan lancar pada umur 2,5 tahun berkat mengakrabi gawai. Dalam konteks ini, Anda jangan menuduh saya tidak percaya dokter. Tetapi pengalaman saya menunjukkan bahwa parenting terbaik adalah mengikuti insting orang tua itu sendiri. Saya pun tidak menyarankan cara kami mendidik anak pertama kami yang autis dengan gawai untuk ditiru oleh orang tua lain  yang juga memiliki anak pengidap autisme. Saya tidak yakin akan berhasil.

Kesimpulan saya adalah: tidak ada cara atau pakem parenting tertentu. Sebab, karakter setiap anak berbeda. Nilai dan keyakinan yang dipegang oleh setiap orang tua juga berbeda. Boleh jadi, parenting orang tua A dianggap salah oleh orang lain, tapi justru berhasil mendidik anak-anaknya.  Setiap orang tua punya caranya sendiri dalam mendidik anak-anaknya.

Parenting bukanlah teori, tapi insting orang tua. Juga, melibatkan kata hati orang tua. Lalu, seperti apa fenomena seminar parenting ini sekarang? Ya, karena ini sudah jadi tren, maka dijadikan ladang bisnis dan pemasaran.  Tren ini pun bertemu dengan generasi Milenial dan generas Z yang jadi orang tua muda dan kebetulan FOMO alias takut ketinggalan informasi dan tren, maka prospeklah bisnis seminar ini.

 

 

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *