Malangnya Pelajaran Bahasa Indonesia
Nyatanya Pelajaran Bahasa Indonesia (PBI), saat ini hampir di semua sekolah, dianggap formalitas. Mungkin kalau disuruh pilih, sekolah, guru, dan siswa akan memilih tidak perlu ada PBI itu. Anda tidak perlu menjaga citra. Jujur saja. PBI dianggap tidak penting. Toh, setiap orang dianggap bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia.
Sebagian besar orang memandang PBI ini sebelah mata dan terkesan menggampangkan. “PBI itu ‘kan cuman pelajaran gampang,” kata seorang siswa. “Iya, cuma menyambung kalimat,” sahut siswa lain. “Suruh saja siswa baca buku paket. Gampang, kok,” celetuk seorang guru.
Hari ini eksistensi PBI di sebagian sekolah hanyalah keterpaksaaan. Saya pun tak takut mengatakan “sebagian besar” sekolah. Tidak perlu melakukan survei untuk itu. Yang dibutuhkan hanyalah kejujuran untuk melihat dan mengakui fakta. Keterpaksaan untuk apa? Biar lulusan Jurusan PBI punya kerjaan menjadi guru. Kalau PBI ini dihapus, Anda bisa bayangkan berapa juta sarjana Bahasa Indonesia yang akan menganggur.
Sikap meremehkan bahasa Indonesia sudah terjadi berpuluh-puluh tahun. Saat saya sekolah, hanya sedikit guru bahasa Indonesia yang serius mengajarkan bahasa Indonesia. Selain dari itu, guru hanya menyodorkan buku paket pelajaran ke siswa, lalu mereka diminta untuk membaca teks cerita kancil, dkk, kemudian mengisi soal yang tersedia di bawahnya. “Siapa tokoh utama pada cerita di atas?” bunyi salah satu pertanyaan. Pertanyaan semacam itu seharusnya tidak perlu muncul. Tidak ada gunanya soal-soal seperti itu, di saat siswa tidak memahami apa pentingnya bahasa Indonesia.
Sama halnya dengan betapa malangnya pelajaran bahasa Inggris di sebagian sekolah karena guru hanya meminta siswa mengisi sejumlah soal sampai jam pelajaran usai. “Good morning students, open Page 30, do Taks 3,” perintah sang guru. Setelah itu guru menghilang entah ke mana. Mungkin gurunya ngerumpi dengan kolega gurunya. 10 menit sebelum 2 x 45 usai, guru baru muncul. Para siswa diminta untuk mengumpulkan tugas. Hasil kerjaan siswa tidak dicek. Minggu depan dan seterusnya begitu lagi. Alangkah mudahnya menjadi guru bahasa Inggris, pikir saya saat itu. Anda punya pengalaman seperti itu? Tapi setelah saya menyadari betapa sulitnya menjadi guru yang ideal, saya mengurungkan niat.
Praksis mengajar PBI hanya fokus pada meminta siswa untuk memahami isi teks. Coba Anda perhatikan pada buku teks bahasa Indonesia. Asumsi pemerintah dan guru adalah bahwa siswa sudah memahami bahasa Indonesia dengan baik. Padahal tidak begitu kenyataannya. Ada banyak siswa yang tidak memahami tanda baca dengan baik. Ada banyak siswa yang tidak mengerti kata baku dan tidak baku.
Omong-omong tentang kata baku, guru pun tidak semuanya memahami kata baku dan tidak baku. Guru dan dosen lebih banyak menulis “sekedar”, padahal yang benar “sekadar”. Guru dan dosen masih banyak yang menulis “teoritis”, padahal yang benar “teoretis”. Guru dan dosen masih banyak yang menulis “subyek”, padahal yang benar “subjek”. Ada guru bahasa Indonesia yang menulis tanda titik (.) setelah tanda seru (!). Padahal, titik pada tanda seru sudah mewakili tanda titik. Ada banyak juga guru yang menulis “ku menanti”, padahal yang benar “kumenanti”. Menurut PUEBI Daring, kata ganti ku- dan kau-, penulisannya digabung dengan kata yang mengikutinya. Sedangkan kata ganti -ku, -mu, dan -nya, ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Saya juga yakin tidak semua guru bahasa Indonesia mau membaca dan memedomani PUEBI. Bagaimana mengetahuinya? Coba berikan tes Kemampuan Bahasa Indonesia, Anda akan tahu berapa banyak guru BI yang lolos tes. Saya yakin minimal saparuh tidak lolos tes. Terlebih lagi siswa. Coba Anda uji siswa-siswa itu, sudahkah mereka mengerti dasar-dasar bahasa Indonesia yang benar?
Oleh karena itu, PBI tidak boleh dianggap remeh. Bagi saya, PBI adalah pilar untuk menjaga dan melestrarikan bahasa Indonesia dari kepunahan. Hah, bahasa Indonesia punah? Anda boleh memandang remeh keyakinan saya akan itu, tapi 20 tahun tahun yang datang, bahasa Indonesia akan menghadapi ancaman yang serius. Anak-anak sekarang lebih suka dan pede omong Inggris daripada bahasa nasionalnya. Itu menjadi salah satu dasar saya meyakini bahasa Indonesia akan punah—setidaknya menghadapi ancaman kepunahan beberapa dekade mendatang.
Guru PBI harus meningkatkan pemahaman dan penguasaannya terhadap dasar-dasar bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga dapat mengajarkan yang benar kepada siswa-siswanya.
PBI harus diajarkan dengan serius; siswa tidak sekadar diminta membaca buku pelajaran, lalu disuruh mengisi soal-soal. Itu tidak ada gunanya jika siswa tidak mamahami dasar-dasar PBI.
Ada sejumlah output yang diharapkan setelah siswa belajar PBI, tapi yang paling penting bagi saya adalah mereka dapat membedakan kata baku dan tidak baku, penempatan tanda baca yang benar, penulisan imbuhan yang benar, lalu merangkai kalimat yang efektif.
Mungkin itu dianggap sederhana, tapi tidak begitu kenyataannya. Guru bahasa Indonesia harus terus belajar dan memegang PUEBI. Kalau tidak begitu, bagaimana mengajarkan bahasa Indonesia yang benar kepada siswa-siswanya?