TOEFL dan TPA itu Bisnis Kampus?

TOEFL itu ‘kan pada dasarnya untuk mengukur kemampuan bahasa Inggris seseorang tanpa dikaitkan secara langsung dengan proses belajar mengajar. Di sisi lain, banyak kampus menentukan skor tertentu. Misal, 450 untuk syarat daftar S2 atau 500 untuk daftar S3. Berarti, hak orang untuk mengenyam pendidikan pascasarjana dan doktoral ditentukan oleh kemampuan bahasa Inggrisnya, begitu? Buktinya, kendati semua syarat sudah terpenuhi, tapi kalau skor TOEFL belum mencapai syarat, tidak bisa mendaftar. Aturan dari mana itu? Saya menyebut itu sebagai aturan yang sangat diskriminatif.

Kalian, para aktivis kampus, tidak usah jauh-jauh mengurus hal-hal yang besar, kebijakan TOEFL ini dulu yang harus kalian kaji dan advokasi. Benda mati yang bernama TOEFL ini sungguh merepotkan banyak mahasiswa. Mereka yang ingin segera lulus dan mendapatkan pekerjaan biar tidak terus menggantung pada ketiak orang tuanya justru terhambat dengan skor TOEFL ini juga.

Ada yang mengatakan, kampus-kampus sekarang sedang berupaya menuju internasionalisasi? Tapi bukankah perkuliahan di Indonesia ini 90 persen menggunakan bahasa Indonesia—kecuali yang program internasional? Saya menganggap ini sebagai kelatahan kampus dalam menginternasionalisasikan dirinya.

Kalau belum mencapai skor yang disyaratkan, orang disuruh tes lagi. Berarti ini tidak murni mengukur kemampuan bahasa Inggris orang. Tidak apa adanya. Lalu, untuk memudahkan itu, sebagian kampus memberi pelatihan agar bisa mengisi soal TOEFL. Pertanyaan saya: pelatihan ini agar bisa berbahasa Inggris atau agar bisa mengisi soal-soal TOEFL? Bahkan ada orang yang membayar sampai jutaan rupiah untuk bisa mengikuti pelatihan TOEFL.

Lebih tidak masuk akal lagi ketika ada kampus yang memberi syarat harus lolos skor TOEFL tertentu agar bisa mendaftar ujian tesis. Ini dasarnya dari mana? Mahasiswa yang sudah jauh-jauh hari di-acc tesisnya harus menunggu berbulan-bulan agar bisa mencapai skor yang dipersyaratkan. Ini faedahnya apa?

Selain itu, ada juga Tes Potensi Akademik (TPA). Tes ini ‘kan untuk mengukur kemampuan berpikir, pemahaman, dan penalaran seseorang dalam konteks akademik. Tes ini juga untuk mengetahui kecenderungan kemampuan dan bakat seseorang. Lalu, karena ada batasan skor tadi, orang-orang berusaha agar mencapai skor itu. Berarti orang berorientasi mengejar skor, bukan untuk mengetahui kemampuannya ada di mana; verbalkah? Numerikkah? Atau di mana? Kalau orang disuruh mengejar skor, berarti penilaian pada kecenderungan kemampuan individu tidak murni karena ada nuansa pemaksaan. Di sisi lain, ada banyak lembaga yang mengadakan pelatihan agar bisa mengisi soal TPA. Ini ‘kan kapitalis.

Jadi, sekali lagi bertanya, TOEFL ini murni untuk mengukur kemampuan secara alamiah atau kelatahan agar disebut kampus yang menginternasional?

Sejauh ini saya menganggap ini juga adalah murni kampus berbisnis dan menarik keuntungan dari berbagai peluang yang ada. Kampus oportunis! Apa buktinya? Untuk mendaftar TOEFL, mahasiswa harus membayar antara Rp75.000 – Rp250.000. Kalau belum mencapai skor yang diminta, mahasiswa harus tes dan tes lagi dan tentu membayar lagi. Banyak mahasiswa yang harus mengikuti lima sampai enam kali tes. Dari sana kampus menarik keuntungan. Kalikan saja dengan ratusan mahasiswa. Kampus tinggal kipas-kipas dirinya dengan uang hasil berbisnis mengeksploitasi keringat orang tua mahasiswa. Kalian punya hati nuranikah?

Apa bukti lain kampus sedang berbisnis? Ada kampus yang tidak memperbolehkan mahasiswa tes di tempat lain. Mereka hanya boleh tes di kampusnya. Padahal seharusnya, di mana pun tesnya, asalkan lembaga itu kredibel, ya, sah-sah saja. Tolong orang-orang yang merasa pintar di kampus, bisa menjawab kegundahan saya ini.

Saya menilai TOEFL dan TPA itu tujuannya sudah jauh melenceng dari tujuan awalnya. Justru saya melihat TOEFL dan TPA adalah cara kampus menerapkan kapitalisme dalam pendidikan tinggi. Apa pentingnya skor TOEFL untuk mendaftar sidang skripsi atau tesis. Kita ini di Indonesia. 90 persen perkuliahan menggunakan bahasa Indonesia.

Lagi pula skor TOEFL ini merepotkan banyak orang. Sungguh sangat merepotkan sekali. Manfaatnya sangat kurang. Kalau di jurusan yang Inggris-Inggris masih ada lah faedahnya. Tapi kalau di jurusan lain, hampir tidak ada gunanya.  Kepada para dosen, ayolah jangan tutup mulut. Kritiklah ini. Atau Anda semua takut pada dekan dan rektor?

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *