Kampus, Kok, Bisnis TOEFL

Mahasiswa Jurusan Pertanian diwajibkan untuk ikut TOEFL. Untuk apa ikut TOEFL? Syarat pendaftaran ujian skripsi, katanya. Mahasiswa Kehutanan juga begitu. Mereka harus memenuhi skor minimal. Punya kepentingan apa mereka harus ikut TOEFL? Adik-adik mahasiswa itu kasihan. Syarat lain untuk daftar ujian sudah terpenuhi, tapi karena belum lolos TOEFL, ya, harus menunggu berbulan-bulan untuk daftar. Skornya harus 450. Kalau belum mencapai skor itu, ya, harus tes lagi. Setiap tes harus bayar. Keluar uang lagi dan orangtua mereka tambah pusing.

Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis topik serupa tentang apa, sih, pentingnya TOEFL. Tidak semua orang harus bisa bahasa Inggris dan punya kepentingan untuk itu. Tidak ada kewajiban bagi mahasiswa Indonesia untuk bisa berbahasa Inggris.  Lalu, ngapain ikut TOEFL? Bagi saya ini adalah salah satu kelatahan akademik dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Kalau bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Sastra Inggris, Hubungan Internasional, dan jurusan yang lulusannya akan bekerja di sektor yang membutuhkan kemampuan berbahasa Inggris, TOEFL barangkali ada pentingnya—meskipun kebanyakan mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris akan menjadi guru dan skor TOEFL tidak ada gunanya.

Tapi untuk mahasiswa jurusan lain, untuk apa skor TOEFL. Sertifikatnya untuk apa kalau tidak ada gunanya. Untuk bungkus kacang dan kopi? Apa pentingnya mahasiswa Pertanian dan Kehutanan ikut TOEFL? Apa pentingnya mahasiswa Manajemen Pemasaran dan SDM harus punya skor TOEFL di atas 450? Apakah untuk memasarkan produk harus bisa berbahasa Inggris. Lagipula, soal-soal TOEFL tidak ada kaitannya dengan disiplin ilmu mereka. Apakah di soal TOEFL akan keluar tentang teknologi pertanian, teknologi pangan, atau konservasi hutan? Tidak ada.

Beberapa kampus sudah menjadikan TOEFL sebagai lahan bisnis yang menggiurkan. Mahasiswa diperas dengan dalih harus lulus TOEFL baru bisa ujian skripsi. Sekali daftar harus merogok saku yang relatif mahal. Biayanya antara Rp60-Rp150 ribu. Kalau belum mendapatkan skor yang disyaratkan, harus tes lagi sampai lulus.

Tapi ada yang lucu dan brengsek. Ada kampus yang punya strategi dengan mengatasnamakan kebijaksanaan. Mahasiswa disuruh daftar dulu sampai 7 kali. Kalau tidak lolos, nanti bisa bayar sejumlah uang untuk mendapatkan surat lolos. Tapi, ya, itu, mahasiswa diperas dulu sampai mendaftar 7 kali. Inilah kapitalis dalam dunia pendidikan itu.

Ada juga kampus yang membuka kursus TOEFL. Ini sudah tidak benar. Bahkan ada yang bayar sampai Rp2,5 juta. Logikannya adalah TOEFL itu ‘kan untuk mengukur kemampuan bahasa Inggris mahasiswa. Tapi, kok, TOEFL diadakan kursus. Apakah tujuan kursus agar mahasiswa bisa berbahasa Inggris atau agar bisa mengisi soal-soal TOEFL? Benar-benar brengsek.

Untuk kalian para aktivis mahasiswa; yang didemo dan dikritik, ya, hal-hal yang begini. Bukan isu-isu populer saja yang kalian perjuangkan. Kalau ada kebijakan kampus yang tidak benar, ya, dikritik. Demo, kok, pilih-pilih. Mana nyali kalian? Jangan cemen.

Ada yang mau bantah omongan saya? Saya tunggu! Saya tidak mau mendengar alasan bahwa TOEFL bertujuan untuk mengukur kemampuan mahasiswa agar bisa bersaing secara global. Itu omong kosong. Para sarjana tidak harus bisa omong Inggris agar bisa cari makan dan bersaing.  Bisa omong Inggris itu hanya kepentingan segelintir orang.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *