Ha? Mahasiswa S1 Harus Terbit Jurnal?

Kelatahan akademik dan kapitalisme di dunia pendidikan tinggi makin manjadi-jadi. Kapitalisme itu bukan hanya persoalan uang. Citra kampus, nama baik kampus, sampai angkat kredit dosen bisa menjadi ranah kapitalisme.

Kelatahan akademik pertama yang saya identifikasi adalah persoalan kaharusan lulus Toefl bagi mahasiswa agar bisa mendaftar ujian skripsi. Kendati skripsinya sudah di-acc, kalau belum lulus Toefl, ya, mahasiswa tidak boleh mendaftar.

Ada mahasiswa yang harus menunggu 6 bulan agar bisa mendaftar ujian skripsi. Jurusan apa dia? Jurusan Ilmu Pemerintahan. Mendengar itu saya ketawa setengah mati. Apa hubungannya mahasiswa Ilmu Pemerintahan dengan keharusan lulus Toefl. Apa gunanya skor Toefl itu? Apakah ketika dia melamar pekerjaan di suatu dinas, dia harus ngomong  inggeris? Ya, tidak. Kecuali dia ditugaskan di pos diplomatik luar negeri. Tapi ’kan dia bukan mahasiswa Hubungan Internasioanal (HI).

Ada juga mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab yang diharuskan lulus Toefl. Selain harus lulus Tes Bahasa Arab (TBA), dia juga harus lulus Toefl. Dia harus menunggu 3 bulan agar mendaftar ujian skripsi.

Saya setuju kalau yang diharuskan lulus Toefl itu adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, Sastra Inggris, atau HI. Tapi jangan diterapkan ke mahasiswa yang tidak ada hubungannya dengan itu. Apa, sih, gunanya bahasa Inggris itu selain untuk tiga jurusan itu? Tidak ada.

Ini adalah akal-akalan kampus tertentu untuk mencari uang tambahan, termasuk untuk membangun gedung Laboratorium Bahasa Inggris. Uang proyek pembangunan tidak cukup, maka dicarilah pos lain. Kok, tahu? Ya, tahu. Ini UUD—Ujung-ujungnya duit. Sekali tes, mahasiswa harus membayar 75 ribu – 150 ribu. Kalikan saja dengan ribuan mahasiswa. Kampus bisa dapat ratusan juta untuk satu gelombang tes.

Mengapa saya sebut ini kapitalis? Karena ada kampus tertentu yang punya “kebijakan setan”. Apa itu? Kalau mahasiswa sudah 5 kali tidak lolos tes akan diberikan keringanan untuk lulus. Nanti ada semacam surat dispensasi dari pusat bahasa yang menyelenggaran tes. Tapi harus ikut 5 kali dulu. Gilak! Ini pemerasan. Mahasiswa diperas dulu mengeluarkan uang sampai 5 kali tes. Kalau tidak lulus, baru diberikan dispensasi.

Yang saya sayangkan adalah mengapa mahasiswa yang jurusannya tidak ada hubungannya dengan ngomong inggeris diharuskan lulus Teofl. Kalau memang skripsinya sudah di-acc, mudahkan mereka. Biarkan lulus agar segera mencari kerja. Kasihan orangtua mereka. Tidak ada hubungannya kampus yang ingin mengglobal dengan kemampuan bahasa Inggris mahasiswa. Lagipula, kalau kualitas kampus bobrok, ya, bobrok saja. Tidak perlu pakai embel-embel cakap ngomong inggeris. Ada, loh, mahasiswa yang terpaksa harus membayar uang kuliah satu semester lantaran belum lulus Toefl.

Lantas, ada yang berkomentar, “Nanti biar mahasiswa itu bisa mengerti siaran tivi berbahasa Inggris.” Walah, ribet amat. Nonton siaran tivi bahasa kita saja.

***

Kelatahan akademik kedua yang saya identifikasi adalah mahasiswa S1 harus menerbitkan jurnal. Apa pentingnya mahasiswa S1 harus menerbitkan jurnal? Ada kampus yang mewajibkan mahasiswa S1 harus terlebih dahulu menerbitkan jurnal sebagai syarat mendaftar ujian skripsi.

Saya tidak melihat keuntungan signifikan yang didapatkan oleh mahasiswa S1 ketika menerbitkan jurnal. Yang mereka butuhkan adalah cepat lulus, agar segera mencari pekerjaan.

Tapi memang begitulah kelatahan akademik di kampus-kampus tertentu. Mereka ingin terlihat sebagai kampus yang banyak publikasinya, tapi justru terlihat latah.

Mahasiswa dibuat repot. Ada mahasiswa yang harus tertunda sidang skripsi hanya karena mencari jurnal yang mau menerima penelitian mereka.

Apa yang dilakukan oleh sebagian (besar) mahasiswa? Mereka mencari jurnal predator. Dalam sehari sudah bisa dapat Letter of Acceptance (LoA). “Saya gak peduli mas. Saya pun tak paham apa itu jurnal predator. Yang penting saya dapat LoA untuk daftar ujian skripsi. Saya mau segera lulus. Orangtua saya sudah tidak mampu membiayai saya,” ungkap seorang mahasiswa.

Alih-alih kualitas yang dicapai, kuantitatas saja tidak didapatkan. Itulah kelatahan akademik di pendidikan tinggi. Di jurnal predator ini, mereka cukup mengeluarkan uang untuk menerbitkan penelitian mereka, yaitu membayar pihak jurnal agar langsung menerbitkan. Lagi-lagi keluar uang.

Lagipula apa bedanya jurnal predator dengan jurnal bersinta (Sinta 1 atau Sinta 2). Sama saja. ‘Kan yang penting dibaca oleh orang lain lewat Google. Hahahaha

O ya, sampai sekarang saya masih mencari-cari alasan untuk apa mahasiswa  S1 dan S2 diwajibkan publikasi jurnal? Toh, tidak semua lulusan akan menjadi dosen. Pentingnya, apa, sih? Keuntungan yang mereka dapatkan apa, sih? Mereka sekolah untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak lain.

Suatu waktu seorang pengelola sebuah institusi saya tanya sambil berkelakar terkait apa, sih, pentingnya mahasiswa  S1 dan S2 diwajibkan publikasi jurnal. “Biar kampus terkenal dan dosen dapat angka kredit, mas. Di jurnal itu posisi dosen sebagai penulis kedua,” jawabnya sambil senyum. Oh …

Ada yang mau bantah opini saya? Saya tantang Anda. Tapi saya yakin yang menentang opini saya adalah: dosen yang sok idealis tapi mencari keuntungan dari kedua kelatahan itu atau pengelola kampus yang akan dirugikan jika dua kelatahan ini diberangus. Atau pihak lain yang diuntungkan dari dua hal itu.

Makin lacurlah praksis pendidikan ini. Kalau saya Menteri Pendidikan-nya, saya akan perintahkan untuk hapus semua model-model kelatahan itu. Kampus fokus saja ke mengajar mahasiswa agar bisa bekerja  dan berguna dengan baik di masyarakat.

Tidak usah sok-sok mengglobal dan agar terkesan sebagai kampus yang citranya baik dan full of publications, fokus saja dulu mengajar dan membimbing mahasiswa agar mereka bisa survive mencari pekerjaan. Itu yang paling penting agar pengangguran tidak makin banyak. Apa gunanya 144 SKS yang dipelajari jika tidak berguna untuk mengurangi pengangguran.