Dibohongi oleh Sebuah Kampus Swasta
Orang tua mana yang tidak senang dan bangga mendengar anaknya diterima tanpa tes di sebuah kampus. Apalagi kalau secara geografis, orang tua tersebut tinggalnya di kampung atau di daerah yang minim informasi. Mereka hanya tahu anaknya diterima. Ada pun informasi lain terkait kredibilitas informasi dan kejelasan kampus, mereka awam tentang itu.
Beberapa hari yang lalu, seorang bapak menghubungi saya. Ia memberi tahu bahwa anaknya diterima di sebuah kampus swasta di sebuah daerah melalui jalur beasiswa prestasi. Sepemahaman saya, kalau seorang calon mahasiswa diterima melalui jalur beasiswa prestasi, ia tidak perlu membayar biaya registrasi, dana pembangunan, SPP setiap bulan, dan komponen biaya lainnya. Tentu ada perbedaan antara diterima melalui jalur prestasi dan jalur beasiswa prestasi.
Si bapak itu ragu karena, kok, tetap disuruh membayar sekian juta untuk biaya masuk. Bapak ini hebat. Kendati tinggal di daerah terpencil yang minim informasi, tapi ia punya sedikit literasi tentang urusan akademik anaknya serta kesadaran untuk mencari tahu.
Bapak ini meminta bantuan saya untuk mencari tahu keberadaan dan kualitas kampus tersebut. Saya sampaikan apa adanya setelah saya mencari. Dan, saya menyarankan agar ia tidak mendaftarulangkan anaknya di situ. Tentu saya menjelaskan berbagai fakta berdasarkan informasi yang saya dapatkan.
Hingga akhirnya kami menyimpulkan bahwa bapak tersebut dan anaknya dibohongi oleh kampus swasta tersebut. Kalau diterima melalui jalur beasiswa prestasi, tentu orang tua tidak dibebankan atas berbagai macam biaya. Kalau pun ada komponen biaya tertentu yang diwajibkan, maka harus ada kejelasan dan surat resmi dari kampus untuk menjelaskan terkait hak dan kewajiban yang melekat pada calon mahasiswa, termasuk konsekuensi karena diterima melalui jalur beasiswa prestasi.
Ini bukan pertama kali saya temukan dan yang bertanya kepada saya. Ada juga orang tua yang menyampaikan bahwa anaknya masuk melalui jalur prestasi di sebuah kampus swasta, tapi terlebih dahulu ia diminta membayar sejumlah uang.
Saya paham ini adalah teknik berjualan a la kampus swasta tertentu. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu. Namanya juga berjualan, ya, harus yang menarik perhatian calon pelanggan. Lagipula, hampir sebagian besar kampus swasta tidak ada istilah tidak menerima calon mahasiswa. Tentu ada beberapa tes yang mereka lakukan, tapi itu bukan satu-satunya tolok ukur mahasiswa diterima atau tidak.
Hanya saja, yang menjadi masalah adalah kampus-kampus swasta tertentu menggunakan strategi penjualan yang bombastis dan cerdik (terlalu kasar jika menyebutnya licik). Ada yang mengobral jalur beasiswa prestasi, diberikan laptop gratis, tapi nanti ada penentuan biaya di belakang layar, atau diskon SPP. Membaca strategi penjualan semacam itu, orang tua calon mahasiswa tertarik, tetapi kemudian mereka “dijebak” dengan biaya heregistrasi yang tinggi. Laptop diberi gratis, tapi biaya tinggi. Ya, sama saja. Beli sendiri saja laptop-nya.
Inilah pentingnya kesadaran untuk mencari informasi terkait kampus tujuan. Jangan sampai terpengaruh oleh model jualan yang tidak masuk akal.
Per Mei 2023, ada 23 kampus swasta di Indonesia yang ditutup paksa oleh Kemendikbud. Penutupan kampus dilakukan setelah banyaknya pengaduan masyarakat melalui laman Sistem Informasi Pengendalian Kelembagaan Perguruan Tinggi pada Pendidikan Tinggi Akademik (Sidali). Saya yakin, salah satu aduan itu adalah praktik penentuan biaya yang tinggi, tapi tidak sepada dengan kualitas. Hati-hati memilih kampus tujuan untuk putra-putri bapak dan ibu.
Saat ini, obral jalur prestasi, beasiswa prestasi, beasiswa pendidikan dari kampus-kampus tertentu seperti berjualan krupuk.
Sampai saat ini, saya pribadi berkeyakinan bahwa makin sulit tes yang dilalui oleh calon mahasiswa, makin berkualitas kampusnya. Tidak ada suatu hal yang berkualitas tinggi dicapai dengan cara yang mudah.