Jodoh Tidak di Tangan Tuhan

Ada banyak sekali orang yang tidak kunjung menikah, bukan karena tidak ada pasangan atau yang melamarnya. Tapi mereka tidak kunjung menikah karena takut kualat rumah tangganya kelak karena menikah dengan orang yang tidak direstui oleh orang tuanya. Banyak yang begitu. Mereka terperangkap dalam pemahaman doktrin yang keliru.

Jodoh sudah di depan mata. Tuhan sudah memberi jalan yang selebar-lebarnya, tapi mereka sendiri yang takut mengambil keputusan. Mereka menyerahkan kebebasan untuk menikah pada pilihan orang tua. Padahal yang menikah itu mereka, bukan orang tua. Setiap anak berhak hidup bahagia atas pilihannya. Bukan bergantung pada pilihan orang tua. Orang tua hanya pada tahap memberi pertimbangan.

Ingat, yang menikah, seks, bikin anak, hidup bersama, susah dan bahagia bersama adalah kamu dan pasanganmu. Bukan orang tuamu. Ambillah keputusan yang berani.

Mereka mengorbankan perasaan mencintai dan meninggalkan orang yang dicintainya hanya karena tidak direstui oleh orang tua. Menurut saya itu konyol. Jodoh sudah di depan mata, lah, kok, tidak diperjuangkan.

Lalu, karena tidak kunjung menikah, mereka seolah-olah menyalahkan Tuhan yang tidak mengirim orang yang tepat. Itu, sih, konyol. Lebih konyol lagi, mereka menutup kekonyolan itu dengan kalimat “Jodoh di tangan Tuhan.” Ketahuilah, jodoh itu tidak ditangan Tuhan. Jodoh itu ditangan manusia. Tuhan hanya mendorong sedikit dan mengabulkan atas upaya dan usaha yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.

Saya berpendapat bahwa tidak ada hubungannya keberkahan rumah tangga dengan restu atau tidaknya orang tua terhadap anak menikah dengan siapa. Keberkahan dan kualatnya rumah tangga itu tergantung pada cara kamu dan pasanganmu menjalani rumah tangga. Keberkahan rumah tangga tidak bergantung pada restu orang tua. Tuhan itu Mahaadil dan Mahabijak. Dia tidak akan memberi hukuman yang tidak pada tempatnya.

Jadi, janganlah takut mengambil keputusan untuk menikahi pilihan hatimu. Cinta itu harus diperjuangkan. Jodoh tidak turun dari langit begitu saja dengan cara kamu menunggu saja. Jangan menutup kedok kemalasanmu dengan pemahaman yang salah terhadap “Jodoh sudah diatur Tuhan”.

Faktanya, banyak orang tua merampas hak anak untuk menikahi orang yang dicintainya. Banyak juga orang tua yang menakut-nakuti anak dengan mengatakan., “Rumah tangganmu tidak akan berkah kalau menikahi orang itu.” Bagi saya itu bentuk kediktatoran orang tua yang selalu menganggap dirinya paling tahu dan punya banyak pengalaman hidup. Niat orang tua memang baik yang memikirkan masa depan anak. Tapi ‘kan urusan terjamin atau tidaknya masa depan itu bisa dicari.

Saya melihat pemahaman tentang doktrin agama sudah keliru karena melibatkan pandangan sosial-budaya. Banyak orang tua tidak merestui anaknya menikah dengan pilihan hati anak hanya karena yang bersangkutan tidak bergelar, tidak kaya, tidak ganteng atau cantik, atau tidak berasal dari keluarga terhormat.

Percayalah, ini hanya persoalan orang tua takut digunjing oleh tetangga karena di undangan pernikahan tidak tertera gelar pendidikan si calon menantu. Percayalah ini bukan murni persoalan doktrin agama, tapi si orang tua takut dipandang remeh oleh kolega dan masyarakat karena memiliki menantu yang tidak kaya. Omong kosong semuanya itu. Kasihan anak-anaknya. Ego orang tua terhadap status sosial mengorbankan kebahagiaan anak.

Apa yang harus oleh anak? Pertama, beranilah menyampaikan keinginan untuk menikahi pilihan hatimu dengan penuh tanggung jawab. Kalau respon orang tua tidak merestui, berilah jeda waktu, lalu datanglah bersama pilihan hatimu itu untuk bertemu orang tuamu. Sampaikan niat untuk menikah baik-baik. Kalau responnya masih belum ada lampu hijau, bersabarlah dan beri jeda waktu. Setelah itu, datanglah lagi berdua. Tunggu responnya. Kalau tetap tidak ada restu, ambil keputusan dengan berani untuk menikah menggunakan wali hakim. Segera menikah, lalu cepat-cepat bikin anak. Nanti kalau sudah lihat cucu, luluh juga hatinya. Justru orang tua berdosa ketika menghalangi anak untuk menikah. Anak tidak berdosa sama sekali.

Mungkin anak yang berkomentar, “Mas Andi, ‘kan belum punya anak yang sudah mau menikah. Jadi, belum merasakan posisi orang tua yang seperti itu.” Ketika anak-anak kelak sudah saatnya mengambil keputusannya sendiri untuk menikah, saya akan panggil mereka untuk bicara serius. Saya akan tanyakan, “Sudah siap untuk menikah? Apakah sudah mempertimbangkan segala berkah dan konsekuensi dari pilihanmu? Sudah yakin dengan pilihanmu? Sudah salat Istikharah? Apakah kamu akan bertanggung jawab atas keputusan dan pilihanmu? Saya dan ibumu tidak mau direpotkan dengan segala risiko atas pilihanmu.” Kalau mereka menjawab iya, saya nikahkan. Atas keputusan mereka itu, mereka harus bertanggung jawab. Saya dan ibunya tidak mau direpotkan sedikit pun.

Kami tidak akan melibatkan gengsi sosial, status sosial, omongan tetangga dalam memberi kemerdekaan kepada anak-anak untuk bahagia dengan pilihan hatinya. Itu semua omong kosong di dunia yang fana.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *