Bisakah Bupati Dompu Berinovasi Seperti Ini?
Dalam sudut pandang saya, ada tiga tipe kepala daerah yaitu: tipe politisi, inovator, dan politisi yang inovator. Kepala daerah yang tipe politisi adalah yang hanya fokus berakrobat politik, tapi miskin inovasi dan kreativitas dalam membangun daerah. Mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK saja dibangga-banggakan melalui pasang baliho besar-besar di berbagai penjuru daerah. Boros anggaran! Padahal, status itu hanyalah penilaian BPK tentang penggunaan anggaran daerah. Sederhananya, WTP itu berarti anggaran dipakai dengan wajar, tanpa (banyak) ada temuan manipulasi, mark up, korupsi, dan penyelewengan. Tapi begitulah kenyataanya, mendapatkan status WTP seolah-olah seperti sebuah prestasi besar.
Kepala daerah yang tipe politisi tapi miskin inovasi hanya akan fokus mengamankan relasinya dengan legislatif agar tidak banyak diganggu. Kalau ada anggota legislatif yang berusaha mengganggu, ya, ia sikat. Kepala daerah yang seperti ini tidak akan membawa perubahan signifikan bagi daerah. Sebenarnya tanpa ia pun, roda pemerintahan daerah tetap jalan. Mengapa? Ya, karena yang berjalan adalah sistem. Di Amerika Serikat, ada istilah Government shutdown, di mana ada situasi penutupan pemerintah karena kongres gagal menyepakati anggaran yang diperlukan untuk operasi pemerintah. Tapi, karena sistem yang jalan, pelayananan publik pun tetap jalan tanpa ada hambatan berarti.
Kepala daerah yang tipe ini pun akan selalu mencari alasan atas ketidakmampuannya membawa perubahan pada pembangunan daerah. Ia tidak mau bermawas diri dan berupaya lebih untuk mewujudkan perubahan. Banyak alasannya. Ia cenderung menyerang balik pengkritik dengan mengatakan bahwa menjadi bupati atau walikota itu tidaklah mudah. Ya, memang tidak mudah. Kalau tidak mampu,tidak usah mencalonkan diri jadi kepala daerah. Harus tahu diri. Kalau tahu bahwa diri tidak mampu berinovasi,jangan nekat. Tapi memang kepala daerah yang tipe politisi ini fokusnya adalah kekuasaan, ia pun mencari berbagai cara untuk berkuasa. Keluar uang puluhan sampai ratusan miliar pun tak masalah. Tapi ia lupa bahwa inovasi dan kreativitas dalam diri pemimpin tidak bisa dibayar dengan uang.
Kelemahan kepala daerah tipe politisi adalah hanya pandai berwacana dan memberi janji pada rakyat. Masuk tahun ketiga atau keempat periode pertama sudah disibukkan dengan wacana maju pilkada di periode kedua. Sibuklah ia sikut sana sikut sini. Belum lagi permasalahan pecah gerbong dengan wakil kepala daerah. Makin terbangkailah kepentingan rakyat.
Tipe kepala daerah yang kedua adalah inovator. Ada sebagian kepala daerah yang awalnya bukan politisi, tapi berlatar belakang pengusaha, birokrat, tentara, politisi atau dosen, lalu oleh rakyat dianggap cerdas dan inovatif, diangkatkan ia jadi kepala daerah. Ini bagus, karena ia punya inovasi dan kreativitas membangun daerah. Muncul berbagai ide dan gagasan segar dari pikirannya untuk membangun daerah. Rakyat pun senang dan merasa diperhatikan.
Hanya saja kelemahannya adalah karena bukan politisi, ia tidak tahu cara menghabisi dan mengondisikan lawan politiknya. Akibatnya, ia cenderung dikebiri dan dipermainkan secara politis oleh lawan politiknya, termasuk dari legislator tertentu yang terancam oleh kepemimpinannya. Kepala daerah yang inovatif akan disayang oleh rakyat, tapi dilawan oleh legislatif—dalam kasus ini tidak semua kepala daerah yang tipe ini akan dipersulit oleh legislatif. Ada juga yang disayang oleh legislatif.
Lambat laun kepala daerah tipe inovator akan banyak belajar dari dinamika dan praksis baku hantam di kandang perpolitikan. Ia pun akan belajar menjadi kepala daerah yang juga pandai menggesek, menghabisi, dan mengondisikan lawan politiknya.
Tipe kepala daerah yang ketiga adalah politisi yang inovator. Ini paket lengkap. Rakyat pun akan senang dipimpin oleh kepala daerah macam ini. Secara politik ia kuat. Ia dapat mengendalikan legislatif, sehigga tak banyak mendapatkan perlawawan. Di sisi lain, ia adalah kepala daerah yang inovatif. Ia mampu membuat program-program yang inovatif dalam membangun daerahnya. Tipe kepala daerah yang ini tidak akan banyak mengeluh, karena ia tahu itulah risikonya menjadi kepala daerah. Ia tidak akan mengambinghitamkan rakyat. Atau, mencari-cari alasan atas kegagalan pelaksanaan program. Tapi justru sibuk mengevaluasi diri. Kepala daerah yang tipe ini hampir dipastikan akan terpilih lagi di periode kedua. Ia dicintai oleh rakyatnya. Kalau suatu saat ia mencalonkan diri menjadi gubernur, ia bakal menang.
***
Saat ini Sleman, DIY dipimpin oleh bupati perempuan. Betul, ia adalah istri bupati sebelumnya, tapi ia cukup mampu menjadi dirinya sendiri dalam memimpin daerah. Sleman pun makin maju. Setahu saya ia bukan politisi. Tapi ia mau belajar banyak dari suaminya yang politisi PAN itu untuk memimpin dan membangun Sleman. Ketika sang suami sudah tidak bisa maju Pilkada Sleman karena sudah dua kali jadi bupati, ia pun siap mengambil-alih kepemimpinan itu. Beberapa orang tidak setuju praktik politik dinastinya, tapi, toh, ia cukup mampu.
Saat ini Pemerintah Daerah Sleman memiliki program prioritas “WIFI Gratis” untuk dusun. Dengan adanya program ini, warga jadi terbantu. Anak-anak yang membutuhkan internet untuk sekolah dan mengerjakan tugas-tugas sekolah tidak lagi kesulitan mencari internet. Para orang tua tidak sulit lagi membeli paket data.
Program ini kelihatan sepele, tapi justru berdampak luas bagi kesejahteraan rakyat. Saya mengapresiasi program ini.
Bisakah Bupati Dompu berinovasi seperti ini? Seharusnya bisa, pak. Selama ada kemauan untuk membangun daerah, pasti bisa. Kalau Sleman bisa melakukannya, seharusnya Dompu juga bisa. Kalau anggaran yang selalu dikambinghitamkan, toh, Sleman juga punya porsi anggaran yang hampir sama, tapi program Wifi gratis bisa jalan. Kalau proyek tower Base Transciver Station (BTS) 4G, program strategis nasional itu yang jadi kendala, itulah tugas Bapak Bupati sebagai pemimpin daerah untuk berinovasi dan melobi bagaimana caranya proyek tersebut diambil-alih oleh Pemerintah Kabupaten Dompu. Bagaimana caranya? Ya, jangan tanya saya. Saya hanya rakyat biasa. Ayolah, pak. Berinovasilah. ‘Kan mau maju lagi di periode kedua. Kalau Anda miskin inovasi, apa mungkin rakyat mau memilih Anda lagi?
O ya, bagaimana penilaian rakyat? Bupati Dompu, masuk tipe pertama, kedua, atau ketiga? Ini kritik, jangan kebakaran jenggot atau marah. Bacalah dengan jernih.*