Melawan Budaya Besar Omong
Dua kelemahan kita orang NTB yang saya identifikasi, yaitu suka meremehkan pekerjaan orang lain dan suka bicara tapi tanpa hasil nyata atau kasarnya besar omong. Untuk yang kedua itu, orang Bima-Dompu mengatakan na’e tala, sedangkan orang Sasak mengistilahkannya “beleq ongkat” atau “beleq raos”. Saya tidak tahu orang Samawa mengistilahkannya apa.
Dua kelemahan itu boleh jadi yang membuat daerah kita selalu berada di papan tengah ke bawah dalam hal indeks kemajuan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada tahun 2020, IPM NTB berada diurutan ke-29. Pada tahun 2021 ada sedikit peningkatan tapi tidak mengubah posisi. Tetap saja ada di papan bawah.
Untuk kalian yang entah itu tim sukses gubernur, staf ahli, staf ini, atau staf itu tidak usah mencari-cari alasan dan pembenaran demi menjadi pasukan berani mati gubernur. Jangan karena kalian membela kepentingan politik atau ketakutan kehilangan atas apa yang sedang kalian emban, kalian menutup mata dengan kekurangan kepemimpinan dan kinerja gubernur. Kalau ada yang salah dan kurang, ya, dikritik gubernurnya. Berdosa, loh, kalau kalau kalian pura-pura menutup mata dan hati. Atau, masih takut juga?
Kita tidak usah bertele-tele dan banyak berteori perihal IPM yang tak meningkat secara signifikan itu. Tidak usah menghabiskan anggaran untuk melakukan penelitian demi mencari faktor-faktor yang berkorelasi terhadap peningkatan IPM. Tak ada gunanya. Tidak adanya peningkatan, ya, karena kita tidak memiliki suatu hal yang dapat meningkatkan IPM itu sendiri. Mungkin budaya dan etos kerja kita yang rendah atau kita yang tidak melakukan revolusi mental menuju perbaikan. Kita mengharapkan adanya peningkatan dan perbaikan, tapi kita hanya bisa besar omong. Sampai kiamat tidak ada ada kemajuan itu. Tuhan juga bosan dengan dengan budaya besar omong itu.
Sebelum saya pindah ke Jogja, ada dua atau tiga hal yang bisa saya klaim sebagai hasil kerja dan inisiatif saya untuk NTB. Untuk mewujudkan ketiga hal itu, saya melawan budaya besar omong.
Di kemudian hari, saya mengajak beberapa orang yang masih memiliki kepedulian dan etos kerja yang baik untuk mewujudkan itu.
Apa itu? Saya meninggalkan NTB pada tahun 2014 setelah membentuk Forum Anak NTB, Forum Anak Lombok Timur, dan Forum Anak Lombok Utara pada tahun 2013. Mungkin bagi mereka yang tak paham, ketiga hal tersebut tidak ada gunanya. Tapi ketiga forum anak tersebut dipakai oleh pemerintah daerah sebagai syarat untuk mendapatkan predikat provinsi dan kabupaten layak anak. Suatu provinsi dan kabupaten disebut layak anak apabila, salah satunya, ada forum anaknya sebagai wadah pemenuhan hak-hak anak.
Saya cerita sedikit. Forum Anak NTB itu hanya menjadi wacana besar omong selama 11 tahun. Saya capek mendengar dan melihat sikap besar omong itu. Pemerintah hanya bicara wacana menuju provinsi layak anak, tapi tak ada gerak nyata. Alasannya keterbatasan anggaran, waktu, dan momentum. Pokoknya ribet.
Maka di tahun 2012, saya ajak Rian (sekarang, dosen Fakultas Hukum Unram), Subhan (dosen Institut Teknologi Sumbawa), Gayatri (lulusan Universitas Indonesia dan staf Food and Agriculture Organisation, PBB), Dicky (pegawai Kementerian Perhubungan), dan Imam Alfafan (Parlemen Muda Indonesia) untuk membentuk Forum Anak NTB. Kami bekerja selama setahun untuk mempersiapkan banyak hal. Saat itu, kami berkolaborasi dengan beberapa pejabat di Dinas Pemberdayaan Perempuan NTB yang open minded. Jadilah, Forum Anak NTB itu yang sampai sekarang eksis dan dibanggakan oleh Pemerintah NTB.
Lain ceritanya dengan Forum Anak Lombok Timur. Itu benar-benar mati. Beberapa kali kami berkunjung ke pemerintah daerahnya, tapi ada banyak sekali alasan yang kami terima. Ya, sudah. Dari sana saya ajak Dayat (pegawai Badan Pertanahan Nasional RI), Ida Azkia (aktivis perempuan progresif), dan Jaka (fotografer). Kami pakai uang pribadi untuk mengurus itu semua. Kami hidupkan kembali forum anak itu. Jadilah Forum Anak Lombok Timur yang sekarang eksis dan aktif sebagai wadah pemenuhan hak-hak anak di Lombok Timur. Beberapa hari yang lalu mereka pengurus meminta foto saya untuk dipampang sebagai pendiri dan inisiator Forum Anak Lombok Timur. O ya, kami tidak menginap di hotel atau mendapatkan akomodasi dari pemerintah. Kami menginap di rumah Ida Azkia di Lombok Timur. Orangtuanya berbaik hati membantu kami selama pembentukan itu.
Lain ceritanya lagi dengan Forum Anak Lombok Utara. Alhamdulillah pemerintah daerahnya memiliki pemikiran yang maju. Mereka mengundang saya dan beberapa teman untuk memberi masukan sebelum pembentukan. Selama tiga bulan kami bolak-balik Lombok Utara. Dengan keterbatasan dana dari pemerintah daerah, kami berhasil membentuk Forum Anak Lombok Utara. Malam sebelum esoknya kami membentuk forum anak, kami menginap di rumah pribadi kepala dinas pemberdayaan perempuan setempat. Kami menginap di teras belakang.
Alhamdulillah jadilah ketiga forum anak itu. Ada beberapa orang yang menilai saya arogan. Tapi, kalau tidak pakai cara arogan, saya yakin seyakin-yakinnya sampai sekarang ketiga forum anak itu belum kunjung terbentuk. Karena apa? Ya, karena besar omong.
Setelah terbentuk, beberapa orang yang tak pernah punya andil mengklaim itu sebagai hasil kerja nyatanya. Dari Jogja saya menertawakan mereka. Taik!