Bumdes Inovatif, Ekonomi Maju
Pada pagi atau sore hari, saya, istri, dan anak-anak cukup sering mencari tempat wisata baru di sekitar Sleman dan Bantul. Hitung-hitung untuk mengenalkan alam pada anak-anak. Anak-anak kadang bisa mandi di sungai atau memberi makan binatang.
Satu hal yang saya salut dari orang Jogja adalah mereka kreatif dan inovatif. Tempat yang kelihatannya tidak punya potensi sebagai objek wisata, mereka bisa menyulap menjadi tempat yang bernilai uang dan mendatangkan pemasukan bagi warga setempat. Sungai kecil saja mereka bisa olah menjadi tempat wisata yang ramai didatangi orang.
Hal ini yang membedakannya dengan daerah asal saya di Dompu sana. Di Dompu ada banyak sekali tempat wisata dengan potensi yang bagus, tapi tidak mampu di kelola dengan baik. Ada, sih, beberapa tempat yang dikelola, tapi hanya dengan semangat hangat-hangat tai ayam. Objek wisata tersebut hanya bertahan beberapa bulan. Selepasnya mati dan tidak terurus. Sampah ada di mana-mana.
Di Jogja masyarakat dan pemerintah bekerja sama dan saling mendukung. Tak heran mereka makmur. Ekonomi masyarakat berkembang. Kemunculan objek wisata baru adalah salah satu faktor yang mendorong berkembangnya ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Mereka berkorban, bekerja, dan berinovasi dulu, baru kemudian uang datang. Lain halnya dengan di daerah asal saya sana. Uang dulu, baru kreativitas keluar. Itu pun belum tentu langsung keluar kreativitasnya. Yang mereka debatkan adalah bagian saya kecil, kok, bagian dia besar. Bagi mereka kalau tidak ada uang, ya, tidak bisa jadi apa-apa. Sehingga ketika dikomplain orang karena pembangunan wisatanya tidak berkembang, yang mereka kambinghitamkan adalah keterbatasan dana.
Beberapa hari yang lalu kami berkunjung ke sebuah candi. Sebelum pandemi candi ini ramai dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Masyarakat setempat berjualan di sekitar candi. Tapi pada saat pandemi, candi ditutup. Wisatawan tidak ada yang datang.
Apakah warga setempat putus asa? Tidak. Apa yang dilakukan oleh masyarakat? Dikoordinir oleh badan usaha milik desa (bumdes) setempat, warga diajak untuk kreatif. Di samping candi ada lahan luas yang tidak terpakai. Mereka membersihkan lahan itu, lalu dibuatlah semacam lahan bermain untuk anak-anak. Di samping tempat bermain itu, dibangun beberapa tempat makan. View candi itulah yang dimanfaatkan dan dijual. Mereka juga membuat taman-taman bunga untuk berfoto berlatarkan view candi tadi. Setiap sore sampai malam tempat tersebut ramai dikunjungi wisatawan. Ada juga live music-nya. Ibu-ibu warga setempat disediakan tempat untuk berjualan makanan dan minuman.
Wisatawan ditawarkan berkeliling lokasi sekitar candi dengan delman. Biayanya sekitar Rp50.000 untuk sekali putaran. Ya, wisatawan senang-senang saja. Saat ini bukan hanya delman yang disewakan, tapi juga naik kuda dan skuter listrik.
Saya juga ikut mencoba skuter listrik itu. Sambil saya tanya-tanya, ternyata sukter-skuter tersebut dibeli menggunakan dana yang dikelola oleh bumdes. Biaya sewa skuter dihitung Rp10.000 per sepuluh menit. Saat ini skuter adalah yang paling diminati oleh wisatawan. Dalam sehari, penyewaan skuter bisa meraup untung untuk Rp3 -4 juta. Besar sekali. Kuncinya adalah inovasi dan kreativitas.
Melihat penyewaan skuter itu, pikiran saya lagi-lagi melayang ke desa asal saya di Ranggo, NTB sana. Andai saja pemdesnya punya kesadaran dan kreativitas, pasti desa itu maju. Bumdesnya pun harus kreatif. Jangan sedikit-sedikit uang yang dipikirkan. Coba gunakan otak dan akal untuk memikirkan bagaimana mengembangkan desa. Kalau tidak kreatif, berarti otak tidak dipakai.
Bumdes harus inovatif. Kalau tidak ada inovasi, ya, dibubarkan saja. Habis-habiskan uang rakyat saja untuk menggaji kalian. Apa gunanya kalian pengelola kalau tidak kreatif? Mending kalian ke laut saja.