Studi Banding atau Foya-foya Uang Rakyat?

Beberapa tahun yang lalu datang rombongan orang-orang pemerintah dari sebuah daerah ke Yogya. Ada dari pihak eksekutif maupun legislatif. Mereka juga membawa istri-istrinya. Kebetulan di situ ada teman saya. Gaya mereka selangit, tapi terkesan norak. Mungkin menganggap diri pejabat. Padahal hanya pejabat di daerah kecil. Saya tanya ke teman, ada apa ke Yogya. Ada studi banding, jawabnya.

Mereka akan berada di Yogya selama lima hari. Setelah ditelisik, hanya dua hari mereka berkunjung ke beberapa kantor guna, yang katanya, studi banding. Sisanya mereka ke Pantai Parangtritis, berwisata ke Malioboro dan Tamansari, dan mengunjungi beberapa tempat wisata. Ada juga agenda ke istana Ratu Bilqis, saingan Nabi Sulaiman yang berada di utara Sleman.

Orang-orang ini benaran datang studi banding atau foya-foya dengan uang rakyat, saya membatin. Bukankah pemakaian uang yang tidak pada tempatnya dan bukan hak itu jatuhnya haram? Saya cek angka pengangguran terbuka di daerah tersebut tinggi sekali. Tapi setiap tahun pemerintah daerahnya harus berbohong dengan melaporkan bahwa pengangguran terus menurun. Ya, biasalah kebanyakan laporan kinerja pemerintah: melaporkan hal-hal baik dengan seheboh-hebohnya, tapi untuk kemunduran terkesan ditutup-tutupi. Pernahkah Anda membaca laporan kinerja pemerintah yang isi menunjukkan penurunan secara kuantitatif? Kalau saya tidak pernah. Akan selalu ada frasa “Kinerja tahun ini menunjukkan peningkatan dengan persentase sekian-sekian.” Komplain masyarakat terhadap pelayanan publik tidak mungkin dimasukkan ke laporan kinerja. Atau, kalau Anda menemukan, harap bagi tahu dengan saya.

Apa betul mereka datang studi banding? Tidak. Dalam benak saya, kalau kamu datang studi banding, berarti ada sesuatu yang kamu bandingkan dengan pemerintah daerah yang dikunjungi. Ada inovasi yang kamu buat, ada kreativitas yang kamu tonjolkan, ada gagasan dan best practices yang kamu paparkan. Bukan plangak-plongok mendengar paparan pemerintah daerah lain, lalu ditutup dengan tukar cindera mata atau plakat yang tidak ada gunanya.

Banyak orang salah kaprah (atau pura-pura bodoh?) dengan terminologi “studi banding”. Studi banding, sekali lagi, ya, harus ada hal yang dibandingkan. Pada kenyataannya, banyak acara menghamburkan uang rakyat berkedok studi banding.

Seperti biasa hasil studi banding juga tidak ada dampaknya. Tetap begitu-begitu saja. Tahun berikutnya ada studi banding lagi, hasilnya tetap sama. Ah, ini hanya foya-foya menghamburkan uang haram, eh, maksud saya uang rakyat.

Hampir dipastikan yang datang studi banding itu dapat uang harian, uang saku, uang akomodasi, dll. Enak betul jadi pekerja sipil bangsa. Apa itu menjadi salah satu alasan orang ingin menjadi pekerja sipil bangsa? Ada uang duduk, uang saku, dll. Tapi, ingat! Itu uang rakyat. Uang yang Anda diterima, tapi tidak sesuai dengan keringat adalah uang haram.

Saya senang dengan efisiensi yang dicanangkan oleh Presiden. Saya berharap uang rakyat benar-benar dipakai untuk hal-hal yang esensial.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *