Menyogok Calon Murid

Kata “menyogok” pada tulisan ini memang tidak menggunakan tanda petik karena begitulah keadaan yang sebenarnya di beberapa daerah. Beberapa sekolah bersusah payah menyogok anak-anak agar mau menjadi murid baru di sekolahnya. Dalam bentuk apa calon murid disogok? Ya, dengan memberi uang transportasi, jaminan seragam, dan uang akomodasi. Bahkan, ada sekolah yang mengimingi calon murid dengan beasiswa. “Nanti kalau jadi siswa di sekolah kami, kami beri beasiswa.” Betapa mudahnya mendapatkan beasiswa sekarang. Makin ke sini esensi beasiswa mengalami penurunan kasta. Dulu beasiswa diberikan kepada mereka yang benar-benar layak diberi beasiswa karena prestasi akademik dan non akademiknya bagus. Kalau sekarang beda lagi ceritanya: beasiswa dipakai untuk menyogok dan membeli minat anak dan orangtua agar mau menjadi murid di sekolah tersebut.

Pada ajaran baru seperti ini, para guru sudah mulai masuk kampung keluar kampung. Mereka mencari anak-anak yang siap masuk sekolah atau yang berpotensi siap. Kurang umur sedikit tak masalah. Misal: umur ideal masuk sekolah dasar adalah 7 tahun, tapi oleh guru-guru yang sedang jadi sales pendidikan itu, anak yang umur 6 tahun atau belum genap 6 tahun pun dipaksa dan dirayu untuk masuk sekolah segera. Beberapa alasan dipakai. Ada juga yang melakukan pembodohan. “Tidak apa-apa masuk sekolah lebih cepat. Justru itu pintar,” kata seorang guru. Padahal tidak ada hubungannya kepintaran seorang anak dengan waktu masuk sekolah yang cepat. Itu justru membuat anak karbitan dan merampas hak-hak anak untuk bermain dan menikmati masa kecilnya. Saya tanya mengapa melakukan itu. “Kalau tidak begitu, sekolah kami tidak akan ada murid barunya,” kata seorang guru.

Saat ini beberapa sekolah sedang menghadapi kenyataan sepi peminat. Makin ke sini, makin banyak sekolah yang menghadapi kondisi demikian.

Saat ini orang beramai-ramai membangun sekolah. Mereka seolah-olah menawarkan sesuatu yang baru dalam praktik pendidikan yang mereka lakukan. Padahal sama saja. Mereka tatap pakai kurikulum pemerintah—yang seringkali mereka kutuk itu. Ada juga sekolah yang mengimingi anak dan orangtuanya dengan jaminan pendidikan menuju akhirat yang lebih baik. Seolah-olah sekolah lain adalah sekolah brengsek. Ada juga sekolah baru yang menjadikan agama sebagai komoditas marketing untuk menarik perhatian orangtua calon murid. Saya jadi ingat kata Ibnu Rusyid, “Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkus yang batil dengan agama”.

Orang beramai-ramai membangun sekolah dan lembaga pendidikan bukan pure karena peduli terhadap pengembangan pendidikan dan kualitas generasi bangsa. Tapi mereka sedang berbisnis melalui pendidikan dengan embel-embel peduli. Bahkan mereka justru tidak peduli dengan kualitas pendidikan itu sendiri. Apa buktinya? Mereka tak paham dan tak mau tahu efek negatif dari banyaknya sekolah yang dibangun tanpa mempertimbangkan aspek demografi dan kepadatan penduduk di suatu wilayah.

Lacurnya ada satu desa kecil yang jumlah penduduknya tidak sampai 4000 jiwa, tapi di situ ada 6 sekolah dasar,  4 sekolah menengah pertama, dan 1 sekolah menengah atas. Apa yang terjadi? Pada ajaran baru seperti ini, para guru mulai menjual keunggulan sekolah—yang sebenarnya bukan keunggulan— demi menarik minat calon orangtua murid.

Mereka membangun sekolah karena kepentingan bisnis. Yang mereka cari adalah uang. “Ayo, jadi siswa di sekolah ini. Biaya pendidikan gratis,” bunyi iklan sebuah sekolah baru. Kalau orangtua yang tak paham, mereka tentu senang karena ada sekolah gratis. Tapi mereka tak sadar kalau sedang dijebak. Nanti ada banyak uang embel-embel yang harus dibayar oleh orangtua murid ketika murid ke sekolah tersebut.

Terkait ini, saya pernah menyamar menjadi orangtua murid. Saya lakukan itu demi membuat sebuah tulisan. Saya datang ke sekolah yang punya jargon sekolah gratis. Tapi ternyata itu hanya jebakan. Biaya yang mereka patok dengan alasan uang pengembangan, uang pembangunan, dll. Besarannya jauh lebih besar. Dan, mereka suka paksa. Mereka hubungi saya setiap hari agar berminat. Mereka tidak tahu kalau saya cuma pura-pura jadi orangtua murid. Kamu brengsek, saya bisa jauh lebih brengsek.

Saya tidak tahu apakah memang pemerintah daerah di daerah itu tidak cerdas atau bagaimana? Kok, bisa persoalan yang seperti ini tidak diperhatikan. Tapi memang mereka juga sengaja tutup mata. Mengapa? Karena mereka patut diduga mendapatkan keuntungan finansial dari pembangunan sekolah baru.

Saya juga heran dengan dinas pendidikan di daerah-daerah yang menghadapi kenyataan sekolah sepi peminat. Apakah pemberian izin pembangunan sekolah tidak dipertimbangkan dengan matang. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangan, seperti jumlah penduduk, jarak antarsekolah, jumlah anak dengan usia yang masuk sekolah, dan aspek terkait lainnya. Tapi, ya, memang dapat dipahami bahwa mereka juga patut diduga mengambil keuntungan dari pembanguan sekolah baru itu. Apa itu? Ada upeti, uang pelicin membangun bangunan, dll.

Banyaknya sekolah tidak menjamin peningkatan kualitas pendidikan di daerah tersebut. Justru menimbulkan persaingan tidak sehat antarsekolah. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan, praktik pendidikan makin bobrok.