Tes TOEFL Tak Ada Gunanya
Mau mendaftar S2 di universitas dalam negeri, mahasiswa harus tes Toefl atau sejenisnya. Skor yang ditentukan tidak tanggung-tanggung. Kalau belum memenuhi skor yang disyaratkan, calon mahasiswa belum bisa mendaftar. Masak, sih, gara-gara tidak bisa berbahasa Inggris, mahasiswa tidak bisa melanjutkan S2. Katanya education for all dan tidak boleh diskriminatif. Apakah agar bisa melanjutkan pendidikan ke strata yang lebih tinggi harus bisa berbahasa Inggris? Tidak, dong. Akses orang terhadap pendidikan tidak ada kaitannya dengan bisa atau tidaknya orang berbahasa Inggris.
Bahasa Inggris memang bahasa internasional, tapi tidak pada semua lini bahasa ini berguna. Mari kita jawab jujur, seberapa pentingkah bahasa Inggris? Tidak semua orang butuh bahasa Inggris. Orang tetap bisa hidup tanpa bahasa Inggris. Orang tetap bisa bekerja tanpa bahasa Inggris. Tanpa pelajaran bahasa Inggris sekalipun orang Indonesia tetap hidup dan bisa mencari pekerjaan.
Apakah S2 di dalam negeri perlu bisa berbahasa Inggris? Saya kira tidak perlu. Kalau begitu, mengapa harus diwajibkan Toefl dan sejenisnya itu. Toh, perkuliahan juga dilaksanakan dengan bahasa Indonesia. Yang prodi Pendidikan Bahasa Inggris pun begitu. Kalau di Indonesia, perkuliahan bahasa Inggris di sebagian kampus masih melakukan campur kode atau alih kode. Ada banyak dosen bahasa dan sastra Inggris yang mengajar menggunakan bahasa Indonesia. Ini fakta.
Kampus saya, UGM, juga begitu. Ada istilah AcEPT untuk mengukur kemampuan bahasa Inggris. Tapi sampai mahasiswa lulus, sebagian besarnya, skor AcEPT tak ada gunanya. Mungkin untuk mahasiswa Sastra Inggris, Hubungan Internasional, atau prodi yang mengadakan program internasional, skor Toefl atau AcEPT ada gunanya. Tapi kalau jurusan lain, gunanya hanya satu, yaitu sebagai persyaratan seminar proposal tesis. Itu pun sampai sekarang saya masih merenung: apa hubungannya pengumpulan skor Toefl dengan seminar proposal tesis yang disusun dalam bahasa Indonesia? Saya tambah bingung. Ini kritik untuk kampus saya juga. Semoga ada yang membacanya.
Atas dasar pemikiran di atas, saya jadi berpikir bahwa hal-hal tersebut hanyalah kelatahan akademik dalam dunia pendidikan tinggi kita. Beberapa pengelola tes di beberapa kampus saya tanya, apa, sih, gunanya tes-tes semacam itu. Mereka mengatakan bahwa tes itu untuk mengukur kemampuan bahasa Inggris mahasiswa. Tapi, apa gunanya? Urgensinya apa? Kalau hanya untuk melihat kemampuan bahasa Inggris mahasiswa, pentingnya apa? Apakah mahasiswa mau dikirim ke luar negeri. Tidak juga. Untuk menulis jurnal internasional? Haruskah itu diberlakukan untuk semua mahasiswa? Seharusnya tidak karena tidak semua mahasiswa S2 diwajibkan untuk menulis jurnal internasional.
Mengapa saya mengatakan kelatahan akademik? Karena bisa jadi kampus-kampus di dalam negeri ini terpengaruh euforia globalisasi. Mereka ingin terlihat mengglobal, tapi justru terkesan dipaksa. Sekali lagi, perlukah mahasiswa Indonesia bisa berbahasa Inggris? Bagi saya tidak. Untuk apa? Kecuali mereka ingin bekerja di luar negeri atau study abroad.
Atas dasar pemikiran itu pula, saya menganggap bahwa tes-tes kemampuan bahasa Inggris untuk mahasiswa dalam negeri ini sudah masuk ladang bisnis. Sekali tes orang harus membayar Rp75 ribu – Rp150 ribu. Kalikan saja dengan ratusan mahasiswa. Kalau belum mencapai skor yang diinginkan, ya, tes lagi, ya bayar lagi. Makin banyaklah cuan yang didapatkan oleh pengelola dan kampus. Belum lagi sebelum tes harus ada pelatihan atau seminar yang tentu mahasiswa harus mengeluarkan uang. Apakah itu tidak disebut kapitalis? Ya kapitalislah.
***
Seorang profesor memarahi puluhan mahasiswa pascasarjana yang dibimbing tesisnya. Dia marah karena apa? Karena seukuran mahasiswa S2 belum bisa menulis tesis menggunakan bahasa Indonesia yang benar. “Masak, tulis tanda baca saja tidak benar. Apa gunanya kamu S2,”komentarnya dengan sinis. Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa ada banyak sekali mahasiswa yang tidak bisa menulis skripsi atau tesis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dia juga mengkritik kolega dosennya yang tak disiplin menulis dan menguasai bahasa Indonesia yang benar. Atas persoalan tersebut, ia membuat tulisan yang mengkritik dunia penelitian Indonesia saat ini.
Mahasiswa sering menganggap remeh penguasaan terhadap bahasa Indonesia. Padahal bisa bertutur, belum tentu bisa menulis dengan benar menggunakan bahasa Indonesia.
Mahasiswa-mahasiswa itu lebih takut tidak lulus Toefl daripada tidak bisa berbahasa Indonesia. Hasilnya adalah jadilah tesis dengan bahasa Indonesia yang berantakan atau tidak sesuai standar PUEBI.
Mahasiswa-mahasiswa saat ini secara tidak langsung atau tidak disadari dibentuk untuk tidak bangga terhadap bahasa Indonesia. Maka jangan heran, rusaklah bahasa Indonesia. Mungkin 30 – 50 tahun lagi akan punah. Bagaimana mau jadi bahasa Asean, mahasiswa Indonesia saja lebih takut tidak lulus tes bahasa Inggris daripada tes kemampuan bahasa Indonesia.
O ya, bahasa Indonesia itu ada juga tesnya, yaitu Uji Kemampuan Bahasa Indonesia (UKBI). Asing ‘kan dengan UKBI? Mengapa? Karena selama ini generasi muda dibentuk untuk mengejar Toefl ketimbang UKBI. Cobalah sekali-kali Anda ikut tes UKBI untuk mengukur seberapa fasih Anda berbahasa Indonesia.
Atas dasar itu, prefesor itu menyarankan agar kampus lebih baik mensyaratkan tes UKBI. Itu lebih ada gunanya. Hal tersebut dapat dijadikan acuan apakah mahasiswa bisa menulis skripsi, tesis, atau disertasi dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Lagipula, bahasa Indonesia ini ‘kan bahasa nasional kita. Ya, dipakai, dong. Kok, lebih aware tidak bisa berbahasa Inggris daripada bahasa Indonesia.
Apa gunanya Toefl dan tes sejenisnya? Untuk kalian yang sekolah ke luar negeri tentu ada gunanya. Tapi kalau yang sekolah di Indonesia, sebaiknya UKBI saja.
Mungkin ada yang berkomentar sinis atau tersinggung dengan tulisan ini, “‘Kan skor Toefl untuk lamar kerja.” Halah … coba kamu survei, berapa banyak lapangan kerja yang tidak butuh skor Teofl ketimbang Toefl. Yang butuh skor Toefl itu tidak seberapa. Apakah untuk menjadi penyuluh pertanian, kamu perlu skor Toefl? Apalagi jadi petani atau peternak. Mereka tak butuh skor Toefl.
Mungkin ada juga yang berkomentar, “‘Kan kita ini sudah masuk dunia globalisasi.” Halah … globalisasi dan mengglobal itu bukan berarti kamu harus latah menguasai bahasa orang. Globalisasi itu adalah pikiran dan tindakanmu yang harus mengglobal. Nasionalismu harus tebal. Coba globalkan bahasa Indonesia-mu.
Ayo, kampus-kampus dalam negeri, hilangkan persyaratan skor Toefl. Tidak ada gunanya itu. Kecuali memang tujuannya untuk berbisnis. Ada yang mau bantah?