Terjerat Perilaku Koruptif

Seorang teman lama datang ke kota ini. Dia menghubungi saya untuk bertemu. Ya, biasalah sekalian untuk berbagi pengalaman dan cerita-cerita apa saja yang sudah dilakukan belasan tahun terakhir. Dia berasal dari bekas negara federasi Soenda Ketjil. Dulu, negara ini dijajah oleh negara asal pelatih klub sepak bola Setan Merah.

Dia teks saya, di mana untuk bertemu. Sebentar saya berpikir lalu mengirim nama sebuah bar. Kami juga mengajak beberapa teman. Mereka adalah teman-teman organisasi saya sewaktu kecil. Saya ajak mereka minum red wine untuk menyegarkan pikiran. Tak enak hati saya menyodorkan Wiskey, Vodka, atau Brandy (eh, sebut nama). Takutnya mereka teler dan tak bisa ikut kegiatan dinas esok hari. Tak terasa kami mengobrol dari ba’da isya sampai tengah malam. Banyak hal yang kami obrolkan.

Salah satu yang dia sampaikan adalah ketidaknyamanannya bekerja sebagai pegawai negara. O ya, dia datang ke kota ini untuk suatu urusan dinas.

“Loh, ada apa, bung? Bukannya Anda dapat fasilitas bagus dari kantor?” Tanya saya.

“Bukannya kalau lagi perjalanan dinas begini, bisa indehoy dengan perempuan juga,”lanjut saya.

Orang-orang tertentu yang sedang perjalanan dinas sudah biasa disediakan paket pijat refleksi sekaligus perempuan sebagai pelepas penat. Kalau Anda melakukan perjalanan dinas, apakah disediakan  juga paket pijak refleksi + perempuan untuk menemani malam?

“Enak, sih, enak, bro. Masalahnya saya tidak menyangka mental dan perilaku koruptif di lembaga saya sudah mengakar,” jawabnya.

“Lantas, masalahnya di mana?” Tanya teman kami yang lain.

“Ya, susah. Saya ini pegawai negara baru. Saya sering melihat perilaku koruptif terang-terangan dari atasan dan kolega saya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya harus bagaimana? Hati saya mengatakan menolak dan memberontak.” Dia sedang gusar dengan perilaku koruptif yang meraja lela di lembaga tempatnya bekerja. Nalurinya memberontak. Ya, maklum, dia orang baru. Masih junior.

“Kalau persoalan hati nurani, toh, nanti bisa terbiasa, bro,” Sahut teman kami yang lain. Tuhan akan maklum kalau korupsi kecil-kecil.

“Tapi, ‘kan itu haram, bro. Saya gak mau makan uang haram,” keluhnya.

Nuraninya masih polos. Maklum, dia orang masih hijau. Dia kaget dengan mental dan perilaku koruptif orang-orang di lembaganya. Dia tidak bisa memberontak. Dia sudah berupaya menolak dan tidak terlibat dalam perilaku koruptif itu, tapi justru dia dicemooh dan dijauhi oleh koleganya. Ia juga dinilai sok bersih.

“Kamu tidak lapor lembaga antirasuah saja?” Tanya saya. Kalau di Indonesia, lembaga antirasuah ini, ya, semacam KPK.

“Yaelah, bro. Kalau korupsi hanya sebatas 5-20 juta sudah dianggap biasa dan tidak akan diproses. Yang diproses itu di atas 200 juta ke atas,” ia menjelaskan.

Dari obrolan itu, dia juga memberitahu kami bahwa nota perjalanan dinasnya diminta untuk di-mark-up atau dimanipulasi. Dia hanya perjalanan dinas 3 hari, tapi untuk mendapatkan uang saku yang lumayan banyak, dia diminta untuk mark up sampai 8 hari. Hal yang begituan sudah biasa di lembaganya. Antarsatu sama lain saling tahu saja, lalu diam. Wah, brengsek juga, ya, saya membatin.

Pilihannya ada dua untuk menghadapi kondisi itu: dia mengundurkan diri atau sekalian basah saja. Pilihan untuk basah sekalian adalah yang paling realistis. Kalau berani main api, ya, harus berani terbakar.

“Sudah, sudah. Bikin pusing saja,” kata teman kami yang satunya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *