Penulis Harus Bermental Baja
Jika kamu berpikir bahwa semua orang akan menyukai tulisanmu, kamu salah. Penulis harus menyiapkan dirinya dari serangan dan kritik atas gagasan yang ditulisnya. Selain harus bertanggung jawab atas apa yang ditulisnya, seorang penulis harus kebal telinga dan kebal hati. Tanpa itu, penulis akan baper. Lama-lama baper menyebabkan putus asa untuk menulis lagi. Hilanglah produktivitas itu.
Saya bahkan menyarankan agar siapa pun yang ingin menjadi penulis, terlebih dahulu harus menyiapkan mental baja untuk menghadapi segala bentuk serangan yang dialamatkan kepadanya karena tulisannya. Jangan mengharapkan pujian. Pujian hanyalah bonus dari proses kreatif. Tanpa pujian, proses kreatif harus jalan terus. Mental yang kuat dipakai untuk mengantisipasi diri dari kebaperan dan keputusasaan yang ditimbulkan oleh sikap kontra publik.
Paralel dengan itu, saya pun yakin bahwa di samping ada kelompok yang tidak suka atau tidak menyetujui, ada juga kelompok yang menyukai tulisan-tulisan itu. Setiap penulis memiliki segmentasi pembacanya. Tidak mungkin semua orang suka, tapi mustahil tidak ada yang menyukainya. Suka dan tidak suka hanyalah persoalan selera dan bagaimana menempatkan sudut pandang masing-masing terhadap gagasan yang sajikan. Oleh karena itu, penulis harus kuat dan optimis bahwa setiap tulisan pasti punya pembacanya. Setiap jualan pasti ada pembelinya, setiap tulisan pasti ada pembacanya. Jangan patah semangat hanya karena ada satu, dua, tiga, empat, sepuluh, atau bahkan seratus orang yang tidak menyukai tulisan yang dibuat. Dalam seribu pembaca, pasti ada satu di antara mereka yang menyukai tulisanmu.
Tapi tentu saja seorang penulis tidak bisa menggantungkan dirinya pada selera setiap pembaca. Hal tersebut mustahil, seperti memaksakan semua orang suka terhadap pribadi seseorang.
Penulis tidak boleh terombang-ambing mengikuti keinginan setiap orang. Itu akan membuatnya tidak merdeka dalam menyampaikan ide dan gagasannya. Sedangkan kemerdekaan itulah yang menghasilkan kemurnian ide dan daya kritis yang lestari. Tanpa kemerdekaan seseorang mustahil mempertahankan daya kritisnya dalam menulis.
Terkait mental baja dan kemerdekaan menulis, saya teringat Haruki Murakami. Murakami adalah penulis berkebangsaan Jepang. Ia telah menulis novel, esai, dan cerita pendek yang laris baik di Jepang maupun di pentas internasional. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam 50 bahasa dan terjual jutaan kopi.
Beberapa tahun yang lalu ia mengundurkan diri dari nominasi Nobel Sastra 2018. Padahal ia menjadi kandidat terkuat untuk memenangkan Nobel Sastra pada tahun itu. Dilansir dari sebuah sumber, ia mengundurkan diri karena ingin fokus menulis dan jauh dari perhatian media. Di saat sebagian penulis mengejar Nobel, Murakami justru mengundurkan diri.
Saya dapat memahami jalan pikiran Murakami. Menulis adalah pekerjaan seni. Oleh karena itu penulis adalah seniman. Urusan pujian dan penghargaan itu bukanlah tujuan. Itu hanya bonus; bisa diambil, bisa tidak. Murakami mungkin berpikir bahwa pujian dan penghargaan adalah bentuk pengekangan halus terhadap kerja kreatif. Artinya, kemerdekaan tidak lagi lestari. Kalau kemerdekaan terenggut, tidak mungkin menghasilkan tulisan yang orisinal dan kritis.
Satu hal yang mungkin tidak diketahui oleh khayalak bahwa Murakami justru merasa terasingkan dari jagat sastra di Jepang, negara asalnya. Hal tersebut disampaikan dalam wawancara dengan Theguardian.com. Ia bahkan mengaku bahwa banyak penulis dan kritikus Jepang tidak menyukai karyanya. Karya Murakami dinilai kebarat-baratan dan tidak sejalan dengan kultur Jepang.
Gaya menulis Murakami juga dinilai terlalu vulgar dan terbuka. Di “Killing Commendatore” ia mendeskripsikan adegan pembunuhan dengan pisau secara detail. Di “Norwegian Woods, ia menggambarkan adegan seks dengan vulgar. Itulah yang dikritik oleh sebagian pembaca.
Tapi Murakami tetap dengan pendirian dan kemederkaannya. Ia punya mental baja. Baginya, mengeksplorasi adegan dengan detail melalui kata-kata akan menghadirkan sensasi yang luar biasa di kepala pembaca.
Di luar kontroversinya itu, Murakami tetaplah penulis besar dengan pendirian dan gaya khasnya. Saya senang dengan gaya menulis Murakami. Setiap penulis harus memiliki kekhasannya yang membedakanya dengan penulis lain.
Persoalan suka dan tidak suka, sekali lagi, hanyalah persoalah selera. Kamu tidak bisa menyerahkan diri pada selera setiap orang. Yakin dan percaya, kamu tidak akan menjadi diri sendiri jika mengikuti selera setiap orang—demi menyenangkan mereka. Jika ingin jadi penulis, siapkan mental yang kuat. Bahkan, ketika kamu membuat tulisan, yang harus dipikirkan pertama kali adalah apa yang harus dilakukan jika orang tidak menyukai tulisanmu; terus menulis atau menyerah pada penilaian orang?