Menghargai Usaha Anak
Suatu waktu seorang ibu menarik anaknya ke belakang pagar sekolah dengan amarah. Usut punya usut ibu itu merasa malu karena nilai pelajaran Matematika anaknya rendah sekali baginya. Anaknya hanya mendapatkan nilai nilai 6. Meskipun ada beberapa anak yang mendapat nilai 6, ibu itu tetap menghardik dan menginterogasi anaknya. Karena ketakutan, si anak menangis. Sebagai guru privat, saya menjelaskan bahwa nilai 6 itu sudah bagus. Nilai 6 itu lebih bagus dari nilai 5 atau 4.
Nilai 6 adalah nilai perbaikan. Sebelumnya si anak mendapatkan nilai 5. Sekolah berbaik hati, maka diadakanlah remedial. Malangnya, si anak tetap mendapat nilai 6. Bagi si ibu, nilai itu sangat rendah.
Bagi saya nilai itu tidak rendah. Secara kuantitatif memang iya karena kebetulan angka 5 dan angka 6 itu bertetangga. Tapi secara kualitatif, ada banyak faktor yang sebenarnya membuat ibu itu tidak perlu menghardik anaknya. Pertama, si anak adalah cerminan orang tua. Kalau orangtuanya cerdas, anaknya pasti cerdas. Jadi, kalau anak mendapatkan nilai rendah, seharusnya yang bermawas diri adalah orangtuanya. Mengapa, kok, saya tidak menjadi orangtua yang tidak cerdas secara kognitif. Orangtua yang tidak cerdas pasti menurunkan ketidakcerdasannya kepada anak-anaknya. Hahahaa, eh, saya bercanda. Saya ralat ya untuk poin pertama ini. Tolong jangan dimasukan ke hati. Tidak benar ini. Tapi untuk poin anak adalah cerminan orang tua itu benar.
Faktor yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah usaha anak. Bagi saya, mendapatkan nilai 6 pada pelajaran Matematika itu tidaklah mudah. Si anak pasti telah berusaha keras untuk mengubah prestasi belajarnya. Justru itulah yang harus dihargai oleh orangtua. Jangan biasakan anak untuk bersikap transaksional. Jangan sedikit-sedikit menilai usaha dan perjuangan anak dengan angka. Ada banyak faktor yang tak terlihat yang terlibat di balik itu.
Boleh jadi dalam mendapatkan nilai 6, si anak sudah berjuang melawan dirinya agar tidak menyontek. Itu nilai karakter kejujuran. Boleh jadi yang lain menghalalkan segala cara sehingga mendapatkan nilai tinggi. Hal-hal kecil itu harus dihargai oleh orang tua.
Persoalan menyontek, ya, saya juga dulu waktu SMA sering menyontek. Bagaimana tidak, semua kelas menyontek. Mengapa menyontek? Ya, biar tidak malu mendapatkan nilai rendah. Loh, mengapa begitu? Ya, karena cerdas atau tidak cerdasnya siswa hanya dinilai dari seberapa tinggi nilai Matematika-nya.
Sebagai orangtua mari kita budayakan menghargai setiap dan sekecil apapun usaha anak untuk menjadi lebih baik. Termasuk dalam urusan sekolah. Kalau besok-besok anak Anda nilai pelajaran rendah, tolong jangan dimarahi. Itu tidak menyelesaikan masalah. Dukung mereka untuk belajar lebih giat lagi. Toh, kalau mau realistis, nilai yang didapatkan di sekolah tidak menjamin anak Anda sukses dalam karirnya. Kalau mau menggunakan patokan uang untuk mengukur sukses, justru ada banyak mereka yang ketika menjadi siswa biasa-biasa saja, diremehkan, dan dianggap bodoh, tapi justru sukses dan banyak uangnya. Kalau untuk status sosial Anda sebagai orangtua boleh jadi benar. Tapi tidak bagus mengeksploitasi anak dan pencapaiannya hanya untuk bahan cerita Anda kepada sesama kolega.
O iya, jangan heran kelak ketika anak Anda terbiasa tidak menghargai upaya dan pencapaian dirinya dan orang lain, karena di dalam keluarga, mereka tidak dibiasakan menghargai setiap usaha kecil menuju perbaikan. Semoga kita menjadi orangtua yang bijak. Mari menghargai setiap usaha anak. Mengapa perlu menghargai setiap usaha anak menuju perbaikan? Karena dengan sikap respek orangtua, anak akan menghargai dan percaya diri untuk terus berusaha lebih baik lagi dalam memperbaiki segala kekurangannya. Sebaliknya jika tidak dihargai, mereka akan pesimis mengubah dirinya.