Mengapa Lulusan S2 Menjadi Pengangguran?

Beberapa waktu yang lalu, Agung Nugroho Catur Saputro atau yang biasa saya sapa Pak Agung datang ke rumah kami di daerah Maguwoharjo, Sleman. Pak Agung adalah dosen PNS di Universitas Sebelas Maret. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas Negeri Yogyakarta. Ia adalah penulis dan ilmuwan produktif. Sudah banyak buku yang ditulisnya. Beberapa bulan yang lalu, ia baru saja menerima Rektor Award, sebuah penghargaan dari rektor atas produktivitasnya sebagai dosen.

Orang ini masih muda. Usianya baru menginjak kepala 4, tapi sudah menulis banyak buku dan jadi pembicara di berbagai forum. “Saya bisa beli rumah bukan dari gaji dosen, Mas Andi. Saya beli rumah pakai uang hasil royalti dan tunjangan buku,” katanya. Dosen yang menulis buku juga mendapatkan tunjangan 3-5 juta rupiah. Hitung saja kalau seorang dosen menulis 15 buku.  Saya doakan sebelum umur 50, Pak Agung jadi guru besar.

Kami mengobrol sekitar 2,5 jam. Ada banyak hal yang kami obrolkan. Salah satunya adalah kerisauan kami tentang makin banyaknya lulusan S2 yang belum kunjung terserap oleh lapangan kerja. Bahasa kasarnya, banyak lulusan S2 yang menganggur.

Bukankah bagus bagi negara kalau rakyatnya banyak yang berpendidikan? Ya, bagus, sih. Hanya saja akan menjadi beban bagi pemerintah jika melubernya lulusan S2 yang menjadi pengangguran.

Saat ini melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dan S3 semacam menjadi gaya hidup dan adu cepat. Di beberapa daerah, para orangtua bangga kalau anaknya lulus S2, bahkan jadi ajang persaingan antarorangtua. “Eh, anak saya sudah S2. Anak kamu hanya lulusan S1,” kata seorang ibu. Padahal dia tidak tahu anaknya sedang pusing dan jadi pengangguran. Sebagian orang memiliki kebanggaan jika cepat jadi magister dan doktor. Yang penting ada gelar yang disandang, persoalan ada kerja atau tidak itu urusan belakang. Kerisauan saya dan Pak Agung adalah mau ke mana para magister itu.

Data terbaru dari BPS per Februari 2022 menunjukkan bahwa lebih dari satu juta lulusan S1, S2, dan S3 menjadi pengangguran. Yang mencengangkan adalah, kok, bisa ada lulusan S3 yang menjadi pengangguran. Dugaan saya adalah karena para doktor ini tidak cukup mampu bersaing dalam kompetisi mencari kerja. Saya punya kenalan di UGM. Dia bercerita betapa sulitnya melamar kerja setelah lulus S3 di Taiwan. Setelah pulang ke Indonesia, ia sempat bingung mau apa. Beruntungnya ia punya banyak jaringan dan teman yang terus memberikan informasi tentang lowongan pekerjaan. Jadilah dia dosen di salah satu fakultas di UGM

Saya tidak berpikir streotip, tapi apa yang bisa diharapkan dari lulusan S3 umur 20-an dan 30-an yang tidak memiliki pengalaman bekerja. Perusahaan atau lembaga tidak melihat umur berapa kamu lulus, tapi pengalaman dan keterampilanlah yang diperlukan. Belum lagi ada kesenjangan antara lulusan dan formasi yang dibutuhkan oleh pemilik perusahaan atau lembaga. Hasil penelitian McKinsey, UNESCO, dan ILO (2008) menemukan adanya kesenjangan antara sistem pendidikan dengan dunia kerja di Indonesia. Kesenjangan tersebut yaitu lulusan yang dihasilkan perguruan tinggi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan pengguna kerja.

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa banyak lulusan S2 menjadi pengangguran. Pertama, hanya mau jadi dosen, katanya. Saya tidak tahu kapan perspektif ini muncul. Dari 30 orang mahasiswa S2 yang saya tanya alasan mereka melanjutkan pendidikan menunjukkan 28 orang ingin menjadi dosen. Pada kasus ini, mereka tidak berpikir realistis. Kampus tidak membuka lowongan dosen setiap tahun. Kampus tentu memperhatikan aspek kebutuhan tenaga pendidik. Kalau pun perekrutan dibuka, yang melamar bisa puluhan bahkan ratusan. Berapa yang dibutuhkan? Hanya 5 orang. Coba bayangkan, sebuah jurusan membuka lowongan untuk 5 dosen, tapi yang melamar adalah 46 orang. Ke manakah 41 magister orang yang tidak lolos kualifikasi itu? Ya, menganggur.

Apa solusinya? Perlebar orientasi dan tujuan S2-mu. Lulusan S2 tidak harus jadi dosen. Lulusan S2 bisa jadi konsultan, analist, politisi, dan profesi lainnya. Kalau tujuanmu hanya jadi dosen, ya, wassalam. Sampai kiamat tetap menjadi pengangguran atau sampai kamu merubah mindset-mu.

Kedua, lulusan S2 malas dan tidak mau keluar jadi zona nyaman. Mimpi mereka ketika lulus S2 adalah langsung jadi dosen. Itu mimpinya. Realitasnya adalah mereka harus bersaing dan saling baku hantam dalam persaingan mengapatkan pekerjaan dengan lulusan lainnya. Ketika ditolak, ya sudah, mereka tidak mau berusaha mencari alternatif untuk bekerja di sektor lain. Pokoknya, mereka hanya mau jadi dosen. Tidak ingin yang lain. Mereka tidak mau keluar dari zona nyaman.

Ketiga, hanya mau bekerja di tempat dan posisi yang nyaman. Ini yang paling kebangatan. Mereka tidak sadar diri. Sudah jadi pengangguran, tapi masih milih-milih pekerjaan. “Saya ‘kan lulusan S2. Saya tidak mau mengajar di SMP,” kata seorang magister. Woy, bro. Hidup itu harus realistis. Kamu harus tahu diri. Ketidakmampuanmu mendapatkan pekerjaan adalah cerminan kualitas dirimu yang rendah. Kamu tidak usah milih-milih pekerjaan. Lagi pula, tidak ada jaminan tingginya strata pendidikan orang juga diikuti oleh kualitas seseorang.

Keempat, sombong dan nge-sok. Setelah wisuda, sebagian dari mereka pulang ke daerah asal. Saya melihat ada lulusan S2 yang bersikap sombong dan nge-sok. Karena merasa diri sudah magister, mereka ingin dihormati. Di tengah frustasi tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, mereka membuat keonaran dengan mengatasnamakan intelektualitas di masyarakat. Mereka terlalu nyaman dengan gelar magister yang disandangnya hingga lupa meningkatkan kapasitas diri agar bisa bersaing mendapatkan pekerjaan. Maka, jadilah mereka pengangguran.

Tulisan di atas tentu saja tidak berlaku untuk semua lulusan S2 dan yang sedang menganggur. Semoga dapat menjadi ibrah dalam melanjutkan hidup.

O iya, satu lagi. Sebagian lulusan S2 yang menganggur itu terlalu idealis. Entah mereka sadar atau tidak bahwa hidup butuh uang. Ada yang mengatakan, “Kuliah itu tidak harus kembali modal. Tapi yang penting ilmunya.” Tapi ‘kan ilmu tidak bisa membuat perut kenyang, coy. Yang bikin perut kenyang itu uang. Maka carilah dia lewat pekerjaanmu.

One Comment

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *