Kelatahan Beragama dan Islamofobia
Seorang penceramah ditolak masuk Singapura. Beberapa orang menganggap ia dideportasi. Tapi kalau merujuk pada pernyataan seorang pakar, yang bersangkutan itu ditolak masuk, bukan dideportasi. Deportasi itu masuk dulu ke negara tersebut, lalu dikeluarkan. Kalau si penceramah baru dipintu masuk. Dia belum sempat masuk. Setelah dicek oleh imigrasi, dia tidak diperbolehkan masuk Singapura.
Sebagian orang a.k.a pendukung dan pengikut penceramah itu mulai ramai. Mereka pun berspekulasi macam-macam. Tapi satu hal yang saya sayangkan dari penceramah itu adalah bagaimana dia bersikap. Bukannya dia menghubungi KBRI setempat, justru yang lebih dulu dia lakukan adalah membuat unggahan di akun media sosialnya. Pihak KBRI setempat melalui duta besarnya mengungkapkan bahwa KBRI tahu informasi penolakan itu melalui viralnya unggahannya itu. Kalimat unggahan si penceramah pun agak sedikit memancing subjektivitas banyak pihak, jika itu tidak mau disebut provokatif. Ia mengatakan berada di ruangan sempit seperti di penjara. Kalau orang yang membaca itu, seolah-olah ia sedang berada pada kondisi yang genting. Dia ‘kan penceramah, ya. Mengapa tidak bersikap bijak dan langsung melaporkan ke KBRI. Mengapa, kok, harus melapor ke netizen. Ternyata tidak semua penceramah mampu bersikap bijak dan mendamaikan.
Buntut dari penolakan itu, muncul demonstrasi di Indonesia. Tentu saja dilakukan oleh pendukung atau pengikut penceramah. Ada yang mengultimatum Singapura untuk meminta maaf kepada seluruh umat Islam di Indonesia. Saya mengernyitkan dahi, apa hubungannya dengan umat Islam. Apakah karena kebetulan dia penceramah agama Islam? Saya muslim dan menganggap bahwa Singapura tidak perlu meminta maaf. Singapura punya kebijakan dan kewenangan sendiri untuk menolak atau menerima warga negara lain untuk masuk. Dan itu harus dihargai.
Penolakan terhadap si penceramah itu tidak ada hubungannya dengan umat Islam secara kolektif. Itu persoalan pribadi dia. Lagipula ada banyak penceramah yang tidak ditolak masuk Singapura. Artinya bahwa otoritas Singapura punya SOP untuk memberlakukan apakah pengunjung diterima atau ditolak masuk.
Buntut dari penolakan itu tidak hanya demonstrasi, tapi juga ajakan untuk tidak membeli produk Singapura. Apa hubungannya. Ajakan tersebut justru menunjukkan kelatahan dan kedangkalan sebagai umat beragam. Masalah ditolaknya seorang warga Indonesia, bukan berarti harus merusak hubungan kedua negara. Lagipula umat Islam yang cerdas pasti dapat membedakan mana yang baik dan benar, mana yang salah dan benar.
Ada juga pandangan bahwa penolakan tersebut adalah bagian dari islamofobia Singapura. Itu juga pemikiran yang dangkal. Ada ribuan orang Islam yang masuk ke Singapura dan tidak masalah. Intinya penolakan terhadap si penceramah itu tidak merepresentasikan agama atau masyarakat Indonesia kolektif. Itu penolakan terhadap dia seorang diri. Ada apa, kok, ditolak? Nah, akan lebih bijak jika mengintrospeksi diri.
Terkait islamofobia, sejak dulu saya bertanya-tanya dan mencaritahu apa benar ada islamofobia itu? Apa benar Islam yang cinta damai ini membuat orang takut? Sampai saat ini saya belum melihat ada islamofobia itu.
Saya justru berpikir bahwa islamofobia itu justru adalah wacana yang diciptakan oleh beberapa orang umat Islam yang tidak mampu bersaing dengan umat dunia lainnya, sehingga dibuatlah citra bahwa orang fobia terhadap Islam. Ya, salah satu contohnya adalah kelatahan dalam merespon penolakan terhadap si penceramah ini. Beberapa pengikut menganggap itu sebagai sikap islamofobia Singapura. Mereka sendiri yang berspekulasi seperti itu. Hingga akhirnya saya berpikir, mungkinkah isu islamofobia diciptakan oleh orang-orang yang latah dan dangkal dalam beragama?
Sekali lagi, penolakan terhadap AS itu tidak ada kaitannya dengan Islam dan masyarakat Indonesia secara kolektif. Jadi, tidak perlu memboikot produk Singapura. Lagipula, kok, sedikit-sedikit boikot produk. Dangkal dan latah sekali sikapnya.