Kekeliruan Dosen Terkait Uji Validitas
Tulisan ini adalah bagian dari respon sekaligus masukan terhadap sebagian dosen yang masih keliru memahami esensi uji validitas. Karena keliru memahami, bimbingan skripsi juga ikut salah. Akibatnya, mahasiswa yang dibimbing tidak melaksanakan penelitian sesuai dengan metode dan sistematika yang benar. Tambah salah lagi karena kekeliruan itu ditularkan ke banyak mahasiswa yang dibimbing. Makin keliru lagi jika kesalahpahaman itu turun temurun dari tahun ke tahun.
Ada banyak definisi dan teori tentang uji validitas, tetapi saya coba sederhanakan. Uji Validitas adalah uji yang dilakukan terhadap instrumen penelitian, yang dalam hal ini adalah angket atau kuesioner pada penelitian kuantitatif untuk melihat apakah setiap item pernyataan yang disusun itu valid atau tidak valid. Mengacu pada Ghozali (2009), uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Artinya, bahwa jika berdasarkan hasil uji validitas ada item pernyataan yang tidak valid, maka item pernyataan tersebut dikeluarkan dan tidak boleh digunakan pada penelitian.
Setidaknya ada dua kekeliruan yang saya identifikasi terkait kesalahpahaman sebagian dosen tentang uji validitas. Pertama, terkait responden uji validitas. Ada dosen yang menganggap bahwa responden uji validitas adalah bagian dari responden yang menjadi sampel penelitian. Misal: seorang mahasiswa dalam penelitiannya menentukan jumlah sampel sebanyak 100 responden. Dalam penelitiannya, ia ingin melakukan uji validitas. Biasanya responden uji validitas adalah 30 responden atau jumlah lain yang disepakati. Ada dosen yang menyuruh mahasiswa menyebar kuesioner kepada 30 responden, lalu nanti, kata dosen itu, mahasiswa tinggal menyebar ke 70 responden untuk menggenapkan menjadi 100 responden. Kekeliruan dosen pada kasus ini adalah menganggap responden uji validitas adalah bagian responden yang menjadi sampel penelitian.
Yang benar adalah jumlah responden untuk uji validitas berbeda dan bukan bagian dari sampel penelitian. Uji validitas itu dilakukan sebelum penelitian, sedangkan jumlah sampel (seperti 100 orang di atas) disebar memang untuk hasil penelitian yang kemudian dianalisis untuk menjawab rumusan masalah penelitian.
Setelah dilakukan penyebaran kuesioner, lalu dianalisis baik dengan menghitung manual, menggunakan Microsoft Excel maupun alat statistik semacam SPSS, didapatkanlah hasil uji validitas tersebut. Hasilnya ada tiga kemungkinan, yaitu semua item pernyataan valid; semua item pernyataan tidak valid; atau sebagian item pernyataan valid dan sebagiannya lagi tidak valid.
Item pernyataan yang tidak valid dikeluarkan dan tidak boleh digunakan dalam penelitian. Misal: seorang mahasiswa menyusun 20 item pernyataan, lalu ia melakukan uji validitas, hingga didapatkanlah 5 item pernyataan yang tidak valid. Maka, dalam penyebaran kuesioner untuk penelitian hanya menggunakan 15 item pernyataan yang valid.
Kekeliruan yang kedua adalah ada dosen yang menyuruh mahasiswanya melakukan uji validitas setelah pengambilan data penelitian. Biar tidak repot dan efisiensi waktu, katanya. Bahkan ada yang menyuruh mahasiswa melakukan uji validitas sekaligus dengan analisis statistik terhadap hasil penelitian. Misal: seorang mahasiswa menggunakan analisis data regresi linear berganda, Uji t, Uji F, dan Uji R2. Ada dosen yang meminta mahasiswa melakukan uji validitas bersamaan dengan uji regresi linear berganda, Uji t, Uji F, dan Uji R2. Ini hal yang keliru, karena uji validitas seharusnya dilakukan sebelum penyebaran kuesioner terhadap sampel penelitian.
Jika uji validitas dilakukan bersamaan dengan analisis data, bagaimana jadinya jika kemudian ditemukan ada item pernyataan yang tidak valid? Sedangkan pengumpulan data sudah terlanjur dilakukan juga menggunakan item yang tidak valid itu. Apakah mahasiswa harus mengumpulkan data lagi? Seharusnya tidak capek dua kali. Tapi memang ada mahasiswa yang terpaksa memanipulasi hasil uji validitas dengan memvalidkan semua item pernyataan. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi penguji—yang lebih paham uji validitas—mencercanya saat ujian skripsi.
Prosedur yang sistematis adalah menyusun kuesioner, melakukan uji validitas (item pernyataan yang valid dipakai untuk penelitian), penyebaran kuesioner untuk penelitian, lalu menganalisis data.
Apa yang perlu dilakukan oleh mahasiswa untuk mengantisipasi kekeliruan dosen pembimbing? Mahasiswa harus belajar, banyak membaca, dan bersikap kritis terhadap bimbingan dosen. Bukan berarti dosen pembimbing tahu dan paham semua hal. Jika ada hal yang dianggap keliru dari dosen, mahasiswa jangan segan atau takut mengoreksi dosen. Tapi, faktanya sungguh susah mengharapkan mahasiswa untuk bersikap kritis terhadap dosen. Ditambah lagi budaya akademik kita yang menganggap bahwa dosen adalah sosok yang tahu segalanya dan menentukan nasib dan masa depan mahasiswa.
Dunia akademik adalah dunia yang dinamis. Mahasiswa dan dosen sama-sama belajar dari hari ke hari. Dosen adalah fasilitator, yang berarti bahwa yang diajarkan oleh dosen tidak selalu benar dan dosen itu sendiri bisa keliru. Dosen yang menurut saya perlu diapresiasi adalah yang mau dikritik dan mengakui kekurangan jika ada kekeliruan.