Kapan Orang Non Jawa Jadi Presiden?

Saya mendukung keputusan Presiden Jokowi memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan. Harapannya, agar pembangunan tidak hanya berpusat di Pulau Jawa. Dengan pemindahan ibukota, kita ingin tidak ada orang luar Pulau Jawa yang mengeluh dan merasa dianaktirikan, “Ya, pantas orang di Pulau Jawa maju. Mereka ‘kan dekat dengan pusat kekuasaan.”

Selain itu, kita berharap ada dinamika dan warna baru dalam pucuk kepemimpinan nasional.

Boleh jadi Presiden Jokowi ingin benar-benar mewujudkan pemerataan yang bukan hanya pada aspek pembangunan, tapi juga pada visi keberagaman bahwa presiden Indonesia bukan hanya dari orang Jawa.

Memang, sih, di undang-undang mengatakan bahwa salah satu syarat orang boleh nyalon presiden itu, ya, WNI. Tapi fakta antropologi politiknya berkata lain. Tidak ada, kecuali Jusuf Kalla, orang non Jawa yang nyalon presiden. Sebenarnya bukan takut dan tak mampu, tapi mereka sudah pesimis duluan tidak akan terpilih.

Kita berharap ada orang non Jawa yang jadi presiden. Kita bermimpi suatu saat nanti, Siregar dari Batak, Andi dari Bugis, La Ode dari Buton, Asep dari Sunda dan orang Indonesia dari beragam suku bisa menjadi presiden Indonesia.

Masalah kemampuan sebenarnya sama saja. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana orang non Jawa  memimpin selama mereka tidak mendapatkan kesempatan memegang pucuk kepemimpinan nasional.

Bisakah Indonesia punya presiden dari suku atau kelompok minoritas? Seharusnya bisa. Jangan sampai slogan keberagaman hanya jadi lip service. Mari kita jujur, sudahkah kita memahami dan mewujudnyatakan esensi keberagaman itu?

Semoga suatu saat nanti Indonesia dipimpin oleh figur yang non Jawa. Kita harus bisa mencontoh Amerika Serikat yang memilih presiden kulit hitam. Dulu itu  sangat mustahil banga mereka karena diskriminasi ras dan warna kulit. Tapi, toh, Obama bisa terpilih di tahun 2008. Artinya, bahwa rakyat Amerika Serikat sudah mampu memilih pemimpin bukan karena kesamaan suku, ras, apalagi agama, tapi mereka melihat gagasan dan visi yang ditawarkan oleh sosok calon presiden. Dapatlah kita nilai bahwa warga Amerika Serikat sudah dewasa dalam berdemokrasi.

Kapan kita benar-benar dewasa dan matang dalam berdemokrasi?

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *