Intrik Politik Menghabisi

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat pertanyaan seperti ini,”Jika Andi Fardian jadi konsultan politik, apakah punya juklak dan juknis khusus untuk menggeser seorang calon paling populer sekaligus juga menjadi paling electable?”

Terminologi juklak dan juknis yang digunakan oleh penanya tersebut, menurut saya, terlalu sopan dan halus untuk urusan politik praktis atau politik elektoral. Oleh karena itu, mari kita ganti terminologi itu dengan intrik, propaganda, atau dengan istilah yang agak halus sedikit, strategi.

Apa yang harus dilakukan untuk menggeser calon yang paling populer atau electable?

Strategi pertama adalah mundur dari pencalonan.  Untuk apa maju pada pencalonan kalau sudah tahu kalah. Tapi ‘kan tidak sesederhana itu, ucap seseorang. Saya paham bahwa menjalankan tugas sebagai petugas partai adalah wajib. Perintah ketua partai harus ditaati. Kalau ketua partai menyuruh untuk turun gunung, ya, turun gunung. Tapi, ‘kan berpolitik harus realistis. Kalau sudah tahu akan kalah, untuk apa maju. Konyol, namanya itu. Kecuali ada agenda lain, misalnya sebagai batu loncatan.

Ada contoh konkrit dari strategi batu loncatan ini? Ada. Anda ingat Pilkada DKI Jakarta tahun 2017? SBY tahu putranya, AHY itu akan kalah. Tapi karena AHY ini sudah dipersiapkan jadi ketua umum Partai Demokrat, maka nyalon gubernur hanyalah pintu masuk AHY dalam politik praktis. AHY tidak membidik jabatan gubernur.  SBY tahu betul gaya pengkritik menyerangnya. Biar AHY tidak kelihatan tiba-tiba diangkat jadi ketua umum, maka dicelupkanlah ke pilkada. Setelah itu Anda tahu what’s the story of the rest-nya. AHY mulus jadi ketua umum.

Saran untuk mundur adalah yang paling realistis untuk menghadapi calon yang populer sekaligus electable. Kalau lawan masih sekadar populer, Anda masih punya kans untuk bersaing karena yang populer belum tentu terpilih dan disukai rakyat.

Tapi jika Anda masih tetap ngotot untuk maju, coba lakukan strategi yang kedua, yaitu mencari celah lawan Anda. Tidak ada orang yang benar-benar bersih dan tidak punya celah. Apalagi tokoh politik. Cara yang bisa Anda lakukan adalah cari celah dan kekurangannya. Mungkin pada saat menjadi pejabat publik, dia pernah korupsi atau mark up  anggaran. Itu bisa Anda angkat dan blow up  untuk membuatnya jatuh dengan meminta bantuan media tertentu. Tapi strategi ini semacam judi. Ketika Anda berhasil membuat namanya tercoreng dan elektabilitasnya turun, Anda yang berhasil. Tapi kalau tidak, siap-siaplah menerima serangan balik yang lebih keras. Selain cari celah pada hal itu, Anda bisa cari celah pada istri siri atau perempuan simpanannya, mungkin. Kelemahannya pada urusan perempuan bisa Anda eksploitasi untuk menjatuhkan elektabilitasnya. Di dunia Barat, perempuan bahkan dipakai untuk intel dan menyamar untuk menyerap informasi musuh.

Strategi ketiga, seperti yang sudah dilakukan oleh sebagian orang, adalah memainkan politik identitas. Sebagian orang pakai strategi menyerang agamanya apa. Strategi ini sudah ditempuh oleh beberapa orang. Ada yang berhasil, ada yang tidak. Bahkan ada yang menang dengan memainkan dan mengeksplotasi politik identitas.

Terkait strategi yang kedua dan ketiga, sebagian orang bersikap munafik. Ada yang berkomentar bahwa kedua strategi tersebut tidak etis dan tidak santun. Untuk urusan politik, kok, omong etis, santun, dan melanggar syariat agama tertentu. Faktanya orang-orang saling menjatuhkan.

Politik praktis tidak lebih dari urusan bagaimana mencari cara yang efektif untuk mengalahkan, menjatuhkan, menguasai, sampai membunuh karakter lawanmu. Urusan halal dan haram, faktanya, hanya omong kosong dalam politik praktis.

Mungkin ada yang bertanya, apakah tidak ada cara lain selain tiga cara di atas? Ada. Apa itu? Siapkan uang 500 Miliar untuk menyogok suara. Lakukan serangan fajar, beri masing-masih 1 juta per rumah. Saya kira ini yang efektif karena sebenarnya rakyat hanya butuh uang. Mereka tidak peduli lagi urusan siapa yang memimpin, alih-alih kualitasnya. Yang mereka butuhkan hanya uang untuk hidup.

Kalau strategi 500 M berhasil, setelah menang, Anda hanya berpikir bagaimana kembali modal. Anda harus ingat bahwa gaji kepala daerah tidak lebih dari 20 juta. 20 juta x 5 tahun, berapa?

 

 

 

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *