Hidup Perlu Etika
Saya cukup sering menegur orang yang tidak punya etika memberi salam, baik yang datang ke rumah maupun yang berkomunikasi melalui aplikasi pesan. Saya tak peduli dia tua atau muda, saya tegur. Saya tak peduli dia tersinggung atau tidak. Kalau dia cerdas, dia ubah dirinya. Kalau dia bodoh, dia akan tersinggung.
“Biasakan pakai salam kalau mengetok pintu. Pernah belajar etika ‘kan?” ujar saya kepada seorang mahasiswa yang datang konsultasi. Di lain kesempatan, seseorang datang ke rumah tanpa salam dan dengan sikap tanpa etika. Kebetulan saya tidak enak mood-nya. Saya semprak dia, “Biasakan kalau masuk rumah orang, pakai salam. Ini bukan kandang hewan.” Dia diam dan meminta maaf. Dia mengubah sikapnya. Alhamdulillah berarti dia cerdas.
Lain cerita lagi kalau berkomunikasi via WhatsApp, Messenger, Facebook, dan media sosial lainnya. Satu hal yang saya tidak suka jika orang memulai komunikasi adalah dengan mengirim “P”. P itu apa-an? Apakah mereka tidak diajari etika berkomunikasi dan sopan santun di rumah dan sekolahnya? Atau bagaimana? Saya bisa murka karena pesan “P” ini.
Setiap agama punya salam: “Assalamualaikum” yang diucapkan umat Islam, “Om swastiastu” bagi umat Hindu, “Shalom” bagi umat Kristen, dan “Namo Buddhaya” yang diucapkan umat Buddha. Penggunaan salam itu bukan sekadar karena syariat agama, tapi sebagai wujud moral dan etika bersosial.
Apakah salam “P” ini adalah salamnya mereka yang tak punya agama atau tidak percaya Tuhan? Oh, jangan salah. Saya bergaul dengan beberapa orang yang agnostik dan atheis dan mereka punya etika dalam berkomunikasi. Biasanya mereka menyebut “Salam” sebelum berkomunikasi. Saya sering menemukan mereka yang tak punya agama atau tak percaya Tuhan lebih beretika dan sopan dari beberapa orang yang beragama. Jadi, tak ada jaminan orang yang kelihatan alim dan hafal kitab suci punya etika yang lebih baik.
Saya tak mengerti salam “P” ini artinya apa. Mau nge-ping maksudnya? Apakah nge-ping itu beretika?
Tadi saya baru saja menegur seorang guru ngaji. Dia menghubungi saya dengan pesan “P”. Saya tak membalas. Lantas dia menelepon saya via WhatsApp. Saya sempat angkat beberapa detik dan tidak tertarik untuk berkomunikasi. Saya matikan karena saya sedang mengantar anak dan istri ke tempat renang.
Dia tak punya etika. Etika jika mau menelepon orang adalah minta izin dulu apakah bisa menelepon atau tidak kepada yang bersangkutan. Kita harus menghargai waktu dan privasi orang lain. Kalau kamu tiba-tiba menelepon tanpa minta izin, lantas yang ditelepon sedang bersenggama dengan istrinya, bunyi telepon tentu sangat mengganggu aktivitas senggama orang. Orang mau orgasme dan sedang ena-ena, datang telepon kamu. Bisa buyar orang. Tidak semua orang mematikan nada dering telepon saat bersenggama. Kamu bisa berdosa. Itu hanya salah satu contoh, ya.
Etika lain adalah teleponlah orang cukup sampai dua kali. Jika tidak diangkat, jangan menelepon lebih dari dua kali. Itu etika.
Artinya bahwa etika itu diperlukan dalam berkomunikasi. Jangan sewenang-wenang. Apakah mereka yang sekolah dan berpendidikan lebih beretika dari mereka yang tidak sekolah? Tidak juga. Pada beberapa keadaan, pemulung jauh lebih beretika dibandingkan mahasiswa yang sok pintar di kampus atau dosen yang sok ekslusif.
Etika itu penting. Mari kita terus belajar etika dan sopan santun. Saya sendiri kadang tidak beretika, tapi saya ubah diri dan belajar bagaimana baiknya, termasuk memulai salam saat berkomunikasi dan meminta izin sebelum menelepon orang.