“Hei, Mahasiswa, Kami Tak Kenal Karl Marx Itu”
Seorang mahasiswa yang sedang pulang kampung diundang ke sebuah rapat warga di balai desa. Mahasiswa ini adalah seorang aktivitas di kampusnya. Dia tergabung di organiasi senat mahasiswa. Kadang suka ikut demonstrasi.
Dia sangat antusias mengikuti rapat tersebut. 30 menit sebelum rapat dibuka, ia sudah hadir. Namanya juga rapat warga desa. Yang hadir di sana tentu saja petani, nelayan, pengembala, buruh, sopir, tukang batu, tukang kayu, dll. Mayoritas warga berprofesi sebagai petani dan nelayan. Yang jadi pegawai negeri bisa dihitung jari.
Rapat dibuka oleh kepala desa. Carik jadi notulen. Tema rapat saat itu adalah bagaimana cara masyarakat meningkatkan kesejahteraan.
Begitu dibuka sesi tanya jawab dan menyampaikan aspirasi, si mahasiswa langsung mengangkat tangan. Dia mulai berbicara dari urusan policik, eh maksud saya politik, sosial, sampai ekonomi. Dia menyampaikan pendapat selayaknya dia sedang berada di kampus dan wadah diskursus. Istilah-istilah sulit tak lupa ia selipkan dalam argumentasinya. Dia sebut term resesi, fiskal, dan moneter ketika singgung tema ekonomi. Dia singgung istilah degradasi ketika omong soal sosial, dia rapalkan istilah political will ketika menyinggung pemerintah yang menurutnya tidak becus urus rakyat. Dalam argumentasinya itu juga, ia tak lupa menyebut Karl Marx, Teori Marxis, dan materialisme sejarah. Ia juga menyampaikan apa itu itu relasi produksi. Adam Smith yang pendahulu Karl Marx itu pun tak lupa disebutnya.
Hampir 15 menit ia omong banyak tema di depan warga yang saya yakin hanya satu-dua orang yang paham. Ia berharap dengan berargumentasi menggunakan istilah-istilah sulit membuat warga terkesima. Padahal sebaliknya tidak. Masyarakat tidak paham dia omong apa. Warga cenderung bosan.
Setelah si mahasiswa bicara, giliran seorang nelayan mengangkat tangannya. Ia ingin bicara. Yang pertama kali disampaikan oleh nelayan itu adalah ia memarahi si mahasiwa itu. “Hei, mahasiswa, kami tak kenal siapa Karl Marx itu. Jangan sok pintar di sini,” hardik nelayan itu.
Nelayan itu komplain pada mahasiswa itu karena dinilainya sok pintar. Sikap nelayan itu bisa dipahami. Hampir 15 menit si mahasiswa omong, tak ada ide praktis yang bisa dipakai sebagai saran untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Si mahasiswa justru menunjukkan egonya sebagai aktivis dan orang intelek dari kampus. Si mahasiswa lupa bahwa ia sedang berada di akar rumput, bukan di dunia kampus yang hampir serba teoretis.
Sekarang giliran warga lain angkat bicara. “Hei bung. Kami tak paham kau omong apa dari tadi. Kau terlalu pintar untuk bicara dengan nelayan dan petani. Yang kami butuhkan bukan teorimu,” ucap warga lain.
Si mahasiswa hanya bisa terdiam. Entah lupa atau tidak bahwa ia sedang berada di tengah masyarakat yang lebih paham praktiknya, ketimbang berteori. Ingat! Mahasiswa jurusan pertanian belum tentu lebih pintar dari petani. Mahasiswa perikanan belum tentu lebih cakap dari nelayan. Mahasiswa dan dosen baru pada tataran teori, sedangkan petani, nelayan, buruh, sudah asam garam dengan pengalaman.
Cerita si mahasiswa sok pintar di atas setali tujuh uang dengan cerita Cak Nun yang memarahi seorang mahasiswa perikanan. Mahasiswa itu meremehkan nelayan yang tak berani melaut ketika gelombang tinggi. Giliran mahasiswa itu ditanya apakah pernah melaut, jawabannya tidak pernah. Mahasiswa itu tidak tahu diri. Baru belajar teori ikan di kampus, eh, sudah berani mengatakan cemen pada nelayan.
Mahasiswa, tentu saja sebagian, seringkali tidak tahu diri. Ketika turun ke masyarakat, mereka membawa ego akademiknya dengan menempatkan masyarakat sebagai orang yang tak tahu apa-apa. Mereka rapalkan istilah-istilah akademis yang sulit dimengerti oleh masyarakat. Mereka tak peduli orang paham atau tidak, yang penting bacot saja seenak mereka.
Saya tidak suka bicara terlalu teoretis. Pada beberapa kesempatan saya mengkritik dosen saya di Fisipol UGM agar tidak terlalu teoretis dan akademis. “Bu, bisa tidak kita tidak terlalu berteori,” kritik saya pada seorang dosen suatu waktu. Kadang ada beberapa persoalan yang sebenarnya mudah dimengerti, tapi karena harus pakai teori ini dan itu, justru menjadi rumit.
Mahasiswa—termasuk juga sebagian dosen—seringkali membawa baju intelektual mereka ke masyarakat. Misal: seorang nelayan ingin meningkatkan jumlah tangkapannya. Mahasiswa jangan omong atau bawa-bawa teori produksinya Karl Marx yang anggota Partai Komunis itu untuk membantunya. Cukup sampaikan atau berikan bantuan sampan atau teknologi pendukung yang lebih baik, biar tangkapan ikannya banyak.
Mahasiswa cukup berdebat, bertele-tele, dan bergumul dengan teori di kampus. Jangan bawa ke masyarakat. Yang dibawa ke masyarakat adalah ilmu yang sebelumnya sudah disesuaikan dengan tingkat pemahaman masyarakat. Mahasiswa tidak boleh sok dan brengsek kalau turun ke masyarakat.
Kalau kau turun ke petani, tidak usah sebut term alat produksi. Sebut saja pacul, tembilang, kapak, yang bahasanya mudah dipahami.
Tujuan orang-orang ke kampus adalah untuk belajar, lalu ilmu yang didapatkan disampaikan dengan mudah ke masyarakat. Jangan dipersulit. Jangan bawa dunia kampus yang tidak jarang bertele-tele dengan teori itu. Kalau kamu baca buku, sampaikan apa yang kamu baca dengan bahasa yang mudah dipahami. Tidak perlu kamu bawa egomu agar terlihat intelek, padahal tidak.
Saya sendiri juga membaca cukup banyak cukup. Tapi saya malu dan segan jika harus menyampaikan bahasa buku yang seringkali sulit, baik dalam tulisan maupun omongan kepada orang lain. Anda pun akan sangat jarang menemukan kutipan-kutipan dengan istilah sulit dalam tulisan-tulisan saya. Saya memahami bahwa sebagai penulis dan mahasiswa memiliki tugas moral untuk menyampaikan ilmu dan apa yang dibaca ke orang lain dengan bahasa yang semudah mungkin dipahami.