Fitnah Pemurtadan
Saya pertama kali ke luar negeri pada umur 13 tahun. Bukan untuk berlibur, tapi untuk kepentingan bangsa dan negara. Saya anak kampung dan tinggal dekat gunung. Saya berasal dari desa yang gersang. Saya menduga, karena gersang dan panasnya itu juga berpengaruh pada sikap warganya yang sering bawa parang dan lebih mengutamakan pendekatan anarkis dalam menyelesaikan masalah di desa. Sedikit-sedikit blokir jalan. Sedikit-sedikit segel kantor desa. Sedikit-sedikit bawa parang.
Tapi terkait sikap anarkis tersebut, saya tidak sepenuhnya menyalahkan masyarakat. Saya justru mengkritik tokoh masyarakat, politisi, dan tokoh pemuda yang ada di situ. Kalau saja mereka punya kewibawaan dan disegani, warga tidak mungkin sebar-bar itu. Hanya karena para tokoh tersebut tidak lagi dapat dipercaya dan tak punya kewibawaan, warga ambil jalan sendiri untuk solve the problem.
Tapi, bagaimana pun saya tetaplah anak Ranggo. Ranggo, I love you full. Sangat wajar ketika saya sangat kampungan ketika pertama kali menginjakkan kaki di negeri orang. Terkait sikap keras kami, diakui atau tidak karena ada pengaruh tipikal warga desa kami yang keras.
Tentu saya ke luar negeri bukan dibayar oleh orangtua, apalagi karena lobi nepotis dengan pejabat pemerintah. Orangtua saya tentu tak punya uang sebanyak itu untuk memberangkatkan saya ke luar negeri dan menyogok. Kami, anak kampung, benar-benar mengandalkan kecerdasan dan kualitas diri kami agar menjadi unggul dan dapat bersaing dengan siapa pun itu. Alih-alih mengandalkan sikap nepotis dan sistem kekeluargaan, orang mengenal kami saja tidak. Lagipula, lobi nepotis dan kolutif bukan gaya kami. Gaya kami anak kampung adalah mengandalkan otak dan kemampuan. Kami boleh tinggal di kampung, tapi kami tidak minder. Kolutif dan nepotis adalah cermin ketidakmampuan dan pribadi yang rendah kualitasnya. No way for that.
Dalam persaingan apa pun, saya dan anak kampung lainnya hanya benar-benar mengandalkan keberanian, sikap nekad, dan kepercayaan diri yang tinggi agar bisa bersaing. Hasilnya bagaimana? Kami anak kampung tidak takut kepada siapa pun dan apa pun.
Saya harus akui bahwa berkat Plan Indonesia lah yang mengantarkan saya mendapatkan banyak kesempatan untuk mengisi masa kecil dan remaja dengan dinamis. Adapun banyak sekali kesempatan yang saya dapatkan setelah itu sampai tujuh tahun kemudian, itu beda soal. Seandainya bukan Plan yang membuka gerbang kesempatan itu, saya tak yakin mendapatkan kesempatan lain.
Dengan difasilitasi oleh Plan Indonesia, saya bisa ke negara orang untuk pertama kalinya. Tapi bukan berarti tanpa hambatan. Hambatan sebenarnya bukan terkait biaya dan akomodasi, tapi justru sikap masyarakat yang mabuk agama yang fobia terhadap dunia luar dan perkembangannya.
Saat itu beberapa orang memfitnah bahwa saya akan dimurtadkan jika keluar negeri bersama Plan. “Nanti dikasih makan babi,” hasut seseorang.
Saya justru menunjukkan simpati kepada Plan. Berkali-kali mereka difitnah membawa misi pemurtadan, tetap saja mereka fokus melakukan tugas mulia untuk mengarusutamakan hak perlindungan dan partisipasi anak.
Plan Indonesia juga pernah difitnah lalu dipaksa berhenti beroperasi di sebuah daerah karena menerbitkan buku kesehatan reproduksi. Oleh pihak-pihak yang mabuk agama, Plan dianggap menjebloskan anak-anak ke dalam pergaulan bebas. Fitnah kepada Plan adalah fitnah yang keji. Niat Plan bail, yaitu ingin mengedukasi pentingnya merawat alat reproduksi pada anak-anak dan remaja di daerah tersebut. Edukasi seks sejak dini sangat penting.
Menjelang keberangkatan dan proses pembuatan passport, beberapa orang terus menghasut saya agar tidak berangkat karena di sana, katanya, akan dikasih makan babi dan dimurtadkan. Tapi saya tetap berangkat. Misi membawa kepentingan bangsa dan negara untuk perlindungan dan partisipasi anak berhasil saya emban di forum internasional.
Isu pemurtadan beserta ketakutan dan kewaspadaan akan itu, sebenarnya adalah mitos dan kecurigaan yang tidak mendasar. Lagipula, kalau imanmu kuat, semasif apa pun upaya orang untuk memurtadkan, kamu pasti akan kuat dengan keyakinanmu. Sampai saat ini, saya heran dengan orang-orang yang mengampanyekan ketakutan dan kewaspadaan terhadap strategi pemurtadan. Kalau orangtua kuat menanamkan keyakinan pada anak, apa pun cara orang untuk mengajak “pindah server” tidak akan berhasil.
Tahun berikutnya saya berangkat lagi keluar negeri. Ternyata fitnah pemurtadan masih ada. Orangtua saya sempat ragu untuk memberi izin. Prosesnya lama sekali untuk meyakinkan orangtua saya. Betapa kejinya fitnah pemurtadan itu.
Isu-isu pemurtadan ini, yang saya lihat, justru datang dari orang-orang yang terlihat paham agama dan alim. Saya tidak tahu mengapa mereka menghembuskan hoax semacam itu. Tapi strategi yang saya lakukan untuk menangkal itu adalah saya buktikan bahwa apa yang mereka curigakan itu tidak benar.
Sekali lagi, kalau spiritual dan religiusitasmu kuat, apa pun cara orang untuk mengajak kamu pindah agama, tidak akan berhasil. Justru, mereka yang takut adalah mereka yang tidak kuat iman dan pemahaman agamanya.