Dosen Perlu Belajar Bahasa Indonesia

Wah, judul tulisannya berlebihan, nih? Bukannya para dosen di Indonesia sudah fasih berbahasa Indonesia? Bukannya mereka menguasai bahasa tutur Indonesia?  Mungkin ada beberapa orang yang berkomentar seperti itu terkait judul ini.

Judul ini tidak berlebihan karena faktanya tidak semua dosen mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Apa itu penting? Ya, penting. Para dosen meminta mahasiswanya untuk menulis karya ilmiah dengan bahasa Indonesia yang baku, tapi sebagian dari mereka tidak paham bahasa Indonesia yang baku. Mau bukti? Nanti saya uraikan.

Terkait kefasihan, faktanya tidak semua dosen fasih berbahasa Indonesia yang benar. Buktinya, ada banyak dosen yang saya temukan masih menulis “sekedar”, sedangkan yang benar adalah “sekadar” . Wah, itu ‘kan persoalan kecil, komentar seorang dosen muda. Woy, bro, pantas saja pendidikan di Indonesia selalu terbelakang dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Ya,  orang-orang Indonesia, bahkan dosen dan guru pun suka menggampangkan dan meremehkan hal-hal subtantif.

Terkait menguasai bahasa tutur, dosen belum tentu menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka memang lancar bahasa tuturnya, tapi belum tentu benar bahasa Indonesia-nya.

Saya menemukan cukup banyak dosen yang ngotot-ngototan dengan mahasiswa memperdebatkan penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada paper, skripsi, atau tesis. Malunya lagi, dosen-dosen itu tidak mau mengaku salah. Ya, gensi, dong. Tunggu kiamat dulu, baru semua dosen kita mau mengakui kekurangan dan keterbatasannya. Bagaimana pun caranya, mahasiswa harus salah dan menurut pada mereka.

Seorang mahasiswa menulis kata fesyen sebagai pengganti kata fashion dalam bahasa Inggris. Dosennya marah-marah karena menganggap mahasiswanya pakai bahasa gaul. Nyatanya, mahasiswa itu benar. Hanya saja karena dosen tidak memperbaharui kemampuan bahasa Indonesia-nya, mahasiswa dianggap salah. Lama mereka berdebat. Tapi karena academic culture Indonesia yang sudah terlanjur menempatkan yang muda harus mengalah, maka mahasiswa tersebut terpaksa mengalah dan mengganti kata fesyen dengan fashion, lalu dicetak miring. Kasihan mahasiswa itu. Mengalah adalah satu-satunya jalan agar bimbingan skripsi lancar. Kalau ngotot, ya, nanti dosennya marah dan kesal.

Masalah lain yang terjadi adalah ada dosen yang tidak bisa membedakan feminin dan feminim. Bimbingan skripsi sempat mandeg, lantasan dosen kesal karena mahasiswa menulis feminin. Mahasiswa itu tidak salah. Hanya saja dosennya malas membaca.

Ada juga yang masih menulis teoritis, sedangkan yang benar itu teoretis.  Yang fatal lagi adalah perdebatan mahasiswa dan dosen tentang penulisan tanda petik pada kutipan langsung sebelum atau setelah tanda titik. Yang benar adalah setelah tanda titik.

Yang lucu lagi adalah ada dosen yang masih mempercayai penulisan tanda titik setelah tanda seru atau tanda tanya. Seharusnya itu tidak perlu karena tanda titik sudah diwakilkan oleh titik pada tanda tanya atau tanda seru.

Untuk meminimalkan persoalan-persoalan di atas dan agar terwujudnya keadilan bukan hanya mahasiswa yang diminta menulis menggunakan bahasa baku, dosen pun harus memperbaharui kemampuan bahasa Indonesia-nya. Kalau bisa Pendidikan Tinggi memprogramkan Uji Kemampuan Bahasa Indonesia (UKBI). Jangan bahasa asing saja yang dingototin. Bahasa nasional juga harus dipahami.

 

 

 

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *