Berprinsip Sampai Mati

Satu hal yang tidak bisa saya tolerir dalam hidup saya adalah sikap menjilat atau menyenangkan hati orang lain dan cara menjilat. Sungguh sulit bagi saya melakukan itu. Saya lebih baik mati jika harus melakukan itu. Saya merasa harga diri saya jatuh, jika harus menjilat atau menuhankan manusia lain dengan harapan untuk mendapatkan kemudahan.

Saya juga tidak bisa memberi pujian kepada orang lain  dengan sikap basa-basi dengan harapan orang itu senang. Kalau dia senang, ia akan memberikan sesuatu kepada saya. Itu pantang saya lakukan. Pujian itu datang dari hati yang tulus karena benar-benar ia memang pantas mendapatkan pujian. Kalau dia bobrok, ya, jangan dipuji. Atas dasar itu, sangat susah bagi saya untuk bekerja di bawah naungan atasan. Saya tidak bisa bersikap kamuflase atau pura-pura menyenangkan atasan.

Sejak kecil sampai sekarang saya beberapa kali harus berhadapan dengan kondisi yang mengharuskan menjilat atau menuhankan orang lain agar urusan saya dipermudah, tapi setiap kali itu pula saya berhasil lolos tanpa harus menjilat. Kalau tidak ada cara lain, bagaimana? Tidak ada toleransi untuk menjilat. Mundur saja.

Contoh kecil sewaktu sekolah dan kuliah adalah mencari muka di depan guru atau dosen. Ada, toh, beberapa mahasiswa yang karena ingin dikenal dosen, dia cari muka atau sok kenal dengan dosen. Susah bagi saya melakukan itu. Bagi saya, nilai yang didapatkan harus bebas dari sikap menjilat. Kita tidak bisa menutup mata bahwa ada beberapa guru atau dosen yang memberi nilai kepada siswa atau mahasiswa secara diskriminatif. Ada juga guru atau dosen yang pacaran dengan siswa atau mahasiswanya. Tahu dari mana? Saya tahu. Tapi tidak semua guru dan dosen diskriminatif. Ada yang sangat profesional. Sekali pun itu selingkuhannya, kalau bodoh, ya, nilai tetap segitu saja. Nilai yang diberikan sesuai dengan kemampuan mahasiswa menjawab soal.

Atau misalnya, jika ingin mendapatkan belas kasihan guru atau dosen, berkunjunglah ke rumahnya. Bawakan dia sesuatu.  Harapannya agar urusan yang tidak selesai di sekolah atau kampus, bisa selesai di rumah karena pendekatan pribadi. Itu juga tidak pernah saya lakukan seumur hidup saya. Pakai pintu belakang adalah hal yang tidak bisa lakukan. Ikut aturan saja; pakai pintu depan.

Suatu waktu, ada momen di mana saya bertemu dengan seseorang yang strata sosialnya sangat tinggi, semacam raja. Teman yang lain harus bersikap membungkukkan badannya ketika bersalaman dengan orang itu. Saya tidak mau. Saya bersikap dan bersalaman biasa saja. Karena itu saya dianggap tidak sopan dan ditegur oleh seseorang. Saya tidak peduli dengan itu. Dia manusia, saya manusia. Posisi kami sama. Tidak sopan? Saya memegang teguh etika kesopanan yang diatur oleh keyakinan saya, bukan parameter kesopanan yang dibuat oleh budaya sosial. Tidak ada dalam agama saya, jika bertemu dengan orang yang strata sosialnya tinggi, saya harus membungkuk, apalagi mengesot.

Kalau kamu bertemu raja, presiden, bupati, gubernur, atau siapapun itu, kamu tidak perlu membungkukkan badanmu sampai seperti merukuk. Sikap tersebut justru menunjukkan bahwa kamu sedang merendahkan harga diri kamu. Merukuk hanya dilakukan kepada Tuhan, orangtua, dan ketika kamu dituntut “merukuk” pada saat berhubungan seks dengan pasanganmu. Kamu hanya boleh mengambil posisi itu untuk tiga keadaan itu. Selebihnnya tidak perlu.

Mengharap-harap belas kasihan orang lain adalah hal yang juga tidak bisa saya lakukan. Saya tidak mau berhutang budi kepada orang lain. Urusan membalas kebaikan atau berbuat baik kepada orang lain itu beda soal.

Sejak dulu saya sudah terbiasa mengambil jalan sunyi nan sendiri. Saya mempertahankan cara pandang dan prinsip yang saya pegang. Kalau tidak sesuai dengan prinsip yang saya pegang, tidak ada toleransi untuk diri sendiri. Hal tersebut juga berlaku dalam hal berteman. Saya lebih suka menyendiri.

 

 

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *