Belajar dari Pilpres 2019
Pilpres 2019 adalah pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Tidak ada pilpres yang sepanas itu dalam sejarah Indonesia. Pelajaran yang sarat hikmah itu diharapkan mencegah polarisasi rakyat ke dalam kubu-kubu yang sangat tidak menguntungkan bagi keutuhan bangsa di masa-masa yang akan datang. Saya mengharapkan kerisihan, kedangkalan, kegaduhan, sikap oportunis, sampai kebodohan berpolitik seperti yang ditunjukkan pada Pilpres 2019 tidak akan terjadi lagi di pilpres-pilpres selanjutnya.
Berpolitik dan beda pilihan itu boleh. Tapi tidak perlu dimasukkan ke hati. Politik ‘kan cuman sandiwara dan mainan. Politik itu ‘kan tidak lebih dari candaan rakyat untuk melepas lelah di malam hari setelah bergelut dengan alat bajak sawah dari pagi hingga sore hari. Politik itu ‘kan hanya obrolan sambil minum teh di angkringan. Toh, kalau mau jujur, politik itu ‘kan hanya urusan orang-orang elit di atas sana. Terhadap kita, rakyat biasa, sebenarnya tak ada ngaruh-nya yang signifikan. Bukankah kita tetap bergelut mengais nafkah sepanjang hari? Jadi, apa gunanya politik? Ya sekadar candaan ringan. Maka dari itu, sungguh sayang seribu sayang, hubungan baik antarsaudara, teman, dan kerabat yang sudah terjalin lama menjadi rusak hanya karena beda pilihan di pilpres.
Apa, sih, untungnya kita baper lama-lama karena beda pilihan politik? Tidak ada. Di saat rakyat masih bermusuhan, para elit dengan gaya politik licik-cerdik mereka itu sudah berakrobat cepat. Mereka memperjuangkan partai saya dapat apa. Rakyat yang cerdas akan paham betapa sikap politisi untuk mengais dukungan rakyat dengan gaya seolah-olah peduli terhadap rakyat hanyalah kepura-puraan. Setelah mereka mendapatkan yang diinginkannya, rakyat dibiarkan begitu saja. Rakyat dibiarkan sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Mereka tak peduli polarisasi dan tercerai-berainya rakyat akibat dari politik pura-pura peduli itu. Mereka hanya sibuk mengamankan perut dan kepentingan mereka.
Rakyat sebetulnya sangat tulus mendukung dan mendorong jauh orang-orang yang mereka percaya dapat memperjuangkan aspirasi mereka. Tapi berkali-kali itu pula, rakyat dibodohi dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Maka jangan heran rakyat menjadi tidak peduli terhadap politik. Rakyat tak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman itu, bahwa “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.”
Atas kerisihan dan kebodohan kita di Pilpres 2019, saya berdoa agar di Pilpres 2024 tidak akan terjadi lagi. Sungguh capek dan membosankan jika itu terjadi lagi. Yang bermain dan bersandiwara para elit, sedangkan saya rakyat biasa dibiarkan capek menyaksikan kerisihan mereka. Saya juga berharap para elit dan para politisi tidak memperkuda agama sebagai alat politik mencapai tujuan yang kalian mau. Kalau itu terus terjadi, hanya menunggu waktu, hukuman Tuhan akan turun kepada kalian. Tapi, apa ancaman Tuhan itu mempan? Nama Tuhan saja sering dijual demi keuntungan politik. Mari belajar dari Pilpres 2019 itu. Salam dari saya, rakyat biasa.