Belahan Dada dan Pelecehan Seksual
Beberapa waktu yang lalu seorang tokoh masyarakat yang sedang mengemban suatu jabatan penting dilaporkan ke polisi karena (diduga) melakukan pelecehan seksual kepada seorang gadis umur belasan tahun.
Saya membaca berita yang ditulis oleh beberapa media daring lokal, tapi berita yang mereka buat tidak cukup informatif, alih-alih investigatif. Bahkan ada media daring yang memuat berita dengan asal mencopy-paste info dari media daring lain. Inilah salah satu kelemahan sebagian media daring lokal; mereka tidak cukup kreatif untuk mengemas berita yang informatif dan layak dibaca. Bagaimana mau maju kalau begitu. Belum lagi urusan penulisan yang tidak memenuhi kaidah penulisan yang benar.
Saya mencari tahu sendiri, mengapa tokoh masyarakat yang dihormati bisa melakukan itu. Saya tanya beberapa orang yang saya anggap tahu dengan pasti informasi itu. Apa yang sebenarnya terjadi, tanya saya. “Anak itu dipegang vaginanya,” jawabnya. Terkait apakah yang bersangkutan memasukkan tangannya ke dalam rok dan langsung menyetuh alat vital itu atau memegangnya dari luar itu soal lain. Tetapi yang pasti ada unsur pemaksaaan di sana.
Anak gadis orang murung pascakejadian itu. Kebanyakan perempuan korban pelecehan seksual lebih memilih bungkam daripada menceritakan kepada orang lain, termasuk kepada orangtuanya. Terkait itu, saya mengobrol dengan seorang aktivis perempuan. “Kebanyakan perempuan korban pelecehan seksual lebih memilih diam ketimbang menceritakan kepada orang lain apa yang dialaminya. Alih-alih berani speak up ke publik,” kata teman aktivis itu. Ini memang suatu dilema. Diperparah lagi oleh relasi kuasa yang tegas antara korban dan pelaku. Tambah takutlah korban ini. Tidak jarang korban diancam oleh pelaku, jika berani membongkar itu. Dosen mengancam tidak meluluskan mahasiswanya jika berani membongkar sikap mesum meraba susu mahasiswa, itu salah satu contoh. Akibatnya, pelecehan yang dialaminya akan menyerang psikis: korban menjadi murung, tidak bersemangat, dan ada yang sampai bunuh diri.
Inilah darurat pelecehan seksual itu. Pada beberapa tulisan saya sudah menyampaikan bahwa nafsu seks itu tidak ada hubungannya dengan tingkat kealiman atau tingkat kecerdasan seseorang, apalagi strata sosial dan jabatan seseorang di masyarakat. Jangan karena terlihat alim, orang tersebut bisa dianggap menjadi panutan dan bersih dari tindakan brengsek. Tidak begitu cara berpikirnya. Ada beberapa orang yang terlihat alim dan rajin beribadah, ternyata yang bersangkutan adalah penjahat kelamin, pelaku pedofilia dan pelecehan seksual. Sejak dulu, saya tidak pernah mudah bersimpati dengan orang yang ditokohkan.
Di tempat pengajian, di gereja, di sekolah dan di rumah ibadahnya lainnya bisa terjadi pelecehan seksual. Itu dilakukan oleh guru ngaji, guru agama, pastor, dan figur yang jadi panutan. Jadi, jangan pernah mudah terbuai dengan ketokohan seseorang.
Justru yang terjadi adalah makin tinggi strata sosial dan jabatan seseorang, pada sebagian orang dan kasus, makin sewenang-wenang dia melakukan tindakan brengsek. Dia merasa dapat mengendalikan dan membeli hati nurani orang lain.
Sekitar dua minggu yang lalu saya bertemu dengan seorang musisi nasional. Kalau saya sebut namanya, Anda tidak akan asing dengan nama itu. Dia yang sudah terkenal di ibu kota justru menepi di Jogja. Kami sama-sama sedang mengurus suatu berkas di sebuah kantor pemerintahan. Terjadilah obrolan sambil menunggu antrian. Salah satu hal yang dia sampaikan adalah keresahannya melihat sebagian juru dakwah agama yang terlihat alim di depan masyarakat, justru kelakuannya brengsek, hedon, dan menggunakan ketokohannya untuk menarik hati perempuan yang diingikannya. Suatu waktu si musisi ini diminta oleh mertuanya untuk mengundang seorang pendakwah untuk berceramah di sebuah hotel. Dia mendapati pendakwah itu sedang bersenggama dengan seorang perempuan yang bukan istrinya di sebuah kamar pada waktu jeda. Kalau saya menyebut nama pendakwah itu, Anda mungkin tidak akan menyangka. Tapi memang begitulah keadaannya.
Pada beberapa tulisan, saya juga menyampaikan bahwa pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja. Di kampus, sekolah, tempat pengajian, gereja, ruang kerja, di berbagai tempat. Asal ada kesempatan bagi pelaku.
Apakah pelecehan seksual ada hubungannya dengan rok pendek dan baju seksi yang dipakai oleh seorang perempuan? Saya sudah mencari sejak lama terkait itu. Simpulan saya mengatakan bahwa kedua hal itu tidak ada hubungannya. Selama ini ‘kan sebagian masyarakat menyalahkan pakaian yang dipakai oleh perempuan sehingga menyebabkan laki-laki ingin memegang payudara, ketiak, bibir, dan vaginanya.
Seseksi apapun perempuan yang berdiri di depan Anda, kalau Anda mampu menjaga penis untuk tidak sembarang bergerak, saya yakin tidak akan ada pelecehan seksual itu. Biar pun dia telanjang, kalau Anda punya kemampuan bertahan, maka tidak akan ada pelecehan seksual. Bagaimana kalau suka sama suka? Oh itu beda soal. Tulisan itu tidak membahas itu. Setahu saya, kalau persebutuhan dilakukan atas dasar suka sama suka, si perempuan tidak akan merasa terbebani dan tersiksa batinnya.
Bukankah selama ini, sebagian kasus pelecehan seksual terjadi juga pada perempuan yang mengenakan rok panjang dan kerudung. Pada intinya bahwa pelecehan seksual tidak terjadi karena jenis dan model pakaian yang dikenakan oleh perempuan. Ada diskriminatif kalau menyalahkan perempuan korban pelecehanan seksual karena pakaiannya. Ini tergantung sungguh pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan nafsu seksnya.
Masyarakat pun harus mulai terbuka dalam berpikir. Masyarakat tidak boleh mendiskriminasi perempuan karena model pakaian yang dikenakannya. Perempuan rentan menjadi korban murni karena sikap bajingan dari pelaku pelecehan seksual, bukan karena pakaiannya.
Saya tidak sedang mengaitkan doktrin agama tertentu dengan rok pendek atau baju seksi. Tetapi tidak adil jika masyarakat mengambinghitamkan perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual karena pakaiannya. Mereka, para perempuan itu, sudah jatuh, tertimpa tangga lagi.
Saya pun berpikir bahwa tidak ada hubungannya belahan dada yang terlihat dengan rentan terjadinya pelecehan seksual. Faktanya, ini hanya ketidakmampuan laki-laki untuk bersikap tidak bajingan. Memperlihatkan belahan dada pada sebagian perempuan hanyalah sebatas seni. Persoalan itu menumbuhkan gairah pada sebagian laki-laki, itu bukan salah perempuannya. Masak, karena melihat belahan dada, penis Anda bisa tegang. Walah, lemah!
Apa yang harus dilakukan oleh para orangtua? Mari beri pendidikan seks kapada anak sedini mungkin. Perkenalkan bagian tubuh mereka dengan jujur. Ini vagina, klitoris, leher, ketiak, penis, buah zakar, selangkangan, pantat, anus, payudara, dll. Beri tahu mereka dengan bahasa yang jujur. Jangan diganti dengan kata kemaluan. Tujuannya memang agar terdengar sopan, tapi anak akan kebingungan dan tidak dapat mengenali dengan jelas nama-nama bagian tubuh mereka. Lagipula tidak ada hubungannya kata yang terdengar sopan dengan memperkenalkan bagian tubuh pada anak dengan bahasa yang apa adanya.
Selain itu, mari ajarkan kepada anak agar tubuhnya adalah otoritasnya. Tidak boleh sembarang orang untuk memegangnya. Dengan begitu, ia akan memiliki dayaa proteksi yang tinggi pada tubuhnya. Berani pegang dan sembarangan, hajar!