Bahasa Inggris Mengancam Bahasa Indonesia
Di tengah euforia sekaligus ketakutan tidak bisa bersaing di era globalisasi, orang-orang dibentuk pola pikirnya bahwa bahasa Inggris itu urgent. Pola pikir yang dibentuk adalah kalau tidak bisa berbahasa Inggris, akan menjadi umat dunia yang tertinggal. Padahal tidak. Keadaan tidak segenting itu, kok. Orang tetap akan hidup tanpa menguasai bahasa Inggris. Orang tetap bisa makan walaupun tak bisa bahasa Inggris.
Harap dicatat bahwa persepsi terhadap perlunya menguasai bahasa Inggris adalah representasi ketakutan masyarakat elit (elit akademik, elit sosial, elit budaya, elit politik, elit ekonomi) yang setengah hidupnya sudah terpengaruh globalisasi. Kalau kita yang masih menjaga keindonesiaan dan berpijak di tanah Indonesia, bahasa Inggris sama sekali tidak dibutuhkan. Maka saya senang ketika mendengar pelajaran bahasa Inggris dihapus dari tingkat sekolah dasar. Justru yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia sejak dini pada anak.
Sebagian orangtua merasa bangga melihat anaknya pandai berbahasa Inggris. Itu tidak salah. Tapi itu menjadi ancaman bagi eksistensi bahasa Indonesia, kalau persepsi tentang keharusan menguasai bahasa Inggris membuat orang jadi lupa untuk memahami bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Satu hal yang saya salut dari Rusia dan Cina adalah mereka mengharuskan warganya untuk menguasai bahasa nasionalnya dengan benar. Anak-anak dididik sejak dini untuk mempelajari bahasa nasional mereka. Komunikasi keluarga menggunakan bahasa nasional. Hasilnya adalah muncul kebanggaan di dada, di manapun berada mereka tetap menggunakan bahasa nasional mereka.
Pada awalnya saya melihat keberadaan bahasa Inggris di Indonesia hanyalah sebagai pelengkap. Toh, posisi bahasa Inggris di Indonesia hanya berstatus sebagai foreign language. Bukan sebagai second language seperti di Malaysia. Tapi makin ke sini justru merepotkan. Apa-apa daftar ini dan itu harus bahasa Inggris. Apa pentingnya?
Lambat laun bahasa Inggris menjadi ancaman serius bagi bahasa Indonesia. Generasi Z dan generasi terbaru sudah lupa berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka melakukan campur kode dan alih kode. Alih-alih terciptanya generasi bangsa yang fasih berbahasa Indonesia, berbicara dengan bahasa Indonesia standar saja mereka belum tentu bisa.
Maka dari itu saya menyambut baik dihapusnya pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Boleh jadi pemerintah mulai sadar bahwa keberadaan bahasa Inggris mulai mengancam bahasa Indonesia.
Lagipula tidak semua orang mengambil manfaat dari bahasa Inggris. Toh, tidak semua orang akan ke luar negeri. Lantas untuk menghadapi globalisasi, bagaimana? Mengglobal itu bukan persoalan bahasa apa yang dipakai, tapi yang jauh lebih penting adalah pikiran, tindakan, dan etos kerjamu yang mengglobal. Nasionalisme dan kebanggaan memiliki bahasa Indonesia juga harus terus dipertebal.
Ada orang yang mengatakan bahwa kalau tidak menguasai bahasa Inggris, maka akan tertinggal. Ah, tidak juga. Saya justru menganggap itu mitos. Akan tertinggal kalau orang beramai-ramai eksodus ke Amerika dan Eropa. Tapi, sebagian besar kita ‘kan mendiami Indonesia. Justru yang terus digelorakan adalah bagaimana mengglobalkan bahasa Indonesia. Saya berharap pemerintah lebih mempertegas kebijakan yang mengatur penguasaan terhadap bahasa Indonesia.
Saya jadi berpikir bahwa pola pikir tentang pentingnya menguasai bahasa Inggris dibentuk oleh kapitalis. Saya punya cara pandang kapitalis, tapi ketika membuat tulisan ini, posisi saya adalah sebagai warga negara Indonesia yang peduli terhadap bahasa nasionalnya.
Ujung-ujungnya bisnis. Apa contohnya? Ya, kursus bahasa Inggris. Orang harus mengeluarkan uang untuk belajar bahasa. Itu contoh nyata kapitalis. Tapi coba Anda lakukan survei berapa persen dari mereka yang membayar kursus bahasa Inggris yang benar-benar fasih berbahasa Inggris. Ada yang sudah lulus tes tulis Advanced English Grammar tapi masih tidak bisa omong inggeris.
Saya yakin tulisan ini tidak disenangi oleh-oleh pihak yang terkait dengan eksistensi bahasa Inggris. Entah itu guru, pengajar, tutor, dll. Tapi sebagian saja dari mereka. Sebagiannya lagi berusaha berpikir realistis dan mungkin ada yang menyadari, “Oh, ada benarnya juga, ya, maksud tulisan Andi itu.”
Mungkin juga ada yang berkomentar begini, “Tidak mungkin bahasa Inggris mengancam eksistensi bahasa Indonesia.” Respon saya adalah saya lihat dulu latar belakang yang berkomentar. Kalau itu guru, tutor, pengajar, atau yang punya bisnis kursus bahasa Inggris, tentu saya pastikan bahwa 1000 persen komentar itu subjektif. Semua orang berbicara atas kepentingannya. Tidak mungkin yang punya bisnis kursus bahasa Inggris mengatakan, “Sebaiknya pemerintah membatasi pelajaran bahasa Inggris dan mulai mengimbau siswa dan mahasiswa untuk ikut kursus bahasa Indonesia.”
Saya justru ingin mendengar respon dari mereka yang bersinggungan dengan bahasa Indonesia, entah itu guru atau instruktur. Saya ingin menyelami pendapat dan pengalaman mereka, betapa bahasa Indonesia dipandang sebelah hidung.