Anies Jadi Tumbal Politik (?)
DI beberapa daerah, termasuk Jogja, saya mulai melihat baliho pencapresan Anies Baswedan. Saya yakin itu bukan dari Anies, tapi dari orang-orang yang bersimpati dengan Anies. Mereka bikin semacam gerakan dukungan untuk pencapresan Anies. Dan, saya yakin sebagian dari mereka adalah golongan “umat”.
Umat adalah sebutan untuk pendukung setia pasangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. Sayangnya, sebagian dari mereka sudah tak lagi setia kepada figur Prabowo. Prabowo mengkhianati janji bersama, kata mereka. Kok, bisa-bisanya masuk gerbong Jokowi, keluh mereka pula. Tambah sakit hatilah mereka ketika Sandi ikut-ikutan masuk kabinet Jokowi. Mungkin mereka lupa bahwa Prabowo dan Sandi adalah politisi. Namanya juga politisi; hari ini bicara A, besok B, lalu lusa berubah ke C. Jangan mudah percaya omongan politisi jika tidak ingin kecewa berat.
Umat yang terlanjur kecewa pada Prabowo memilih mengubah haluan dukungan. Masih ada Anies yang jadi harapan umat. Anies ini semacam menjadi senjata pamungkas bagi sebagian orang yang punya visi menyelamatkan Islam. Mereka tidak sudi kalau presiden selanjutnya dari PDIP lagi. Capres dari PDIP, kata mereka, tidak pro terhadap Islam. Ya, sudah. Negara ini demokratis. Kita harus menghargai pendapat setiap orang.
“Kalau Anies dan Prabowo sama-sama nyapres di 2024, saya akan memilih Anies,” kata tukang pijat saya tempo hari. “Loh, memangnya kenapa, pak?” Tanya saya. “Dia pengkhianat,” jawabnya dengan tegas semangat berapi-api. Saya penasaran, lalu mengajukan pertanyaan lagi, “Lantas kalau Prabowo berjanji lagi untuk selalu membela umat, bagaimana?”. Aaahhhh, lihat saja nanti, jawabnya.
Kembali ke Anies. Beberapa waktu yang lalu Anies mengungkapkan kesiapannya maju pilpres. Tapi ‘kan tidak bisa ujug-ujug begitu. Anies tidak punya partai. Sepintar apapun Anies, kalau tidak punya partai sebagai kendaraan, ya, Anies tidak akan bisa sampai pada tujuannya.
Kekhwatiran saya itu, sih. Saya khawatir orang-orang yang sekarang mendukung Anies, jadi kecewa karena nanti tidak ada partai yang mendukung Anies untuk nyapres. Percuma Anies, misalnya, mengklaim berhasil pimpin Jakarta, tapi tidak ada partai yang tertarik mengusung. Para partai juga hitung-hitungan. Satu, Anies bukan orang Jawa (tulen). Dua, elektabilitasnya juga tidak konsisten. Terkait Anies yang bukan Jawa tulen, sudah sering saya uraikan pada tulisan-tulisan sebelumnya. Ingat! Orang Jawa tidak akan mau memilih orang yang bukan berasal dari sukunya. Kita harus realistis. Demokratis, sih, demokratis, tapi harus tetap perhitungan juga. Maka dari dulu, 99 persen capres adalah orang Jawa. Tidak ada orang luar Jawa yang berani nyapres, kecuali Jusuf Kalla.
Nasdem, bagaimana? Saya lihat akhir-akhir ini Nasdem mulai menunjukkan keraguan. Apa buktinya? Nasdem membangun komunikasi politik dengan partai lain, termasuk PDIP. Nasdem dan mungkin juga PKS belum terlalu yakin apakah Anies adalah figur yang cocok untuk diusung. Khusus PKS, saya berharap ada kadernya yang bisa diusung jadi capres. Ayolah, biar tidak nebeng-nebeng dan dukung kader lain terus.
Terkait hubungan Prabowo dan Anies, kita perlu merunutnya dalam lima atau enam tahun terakhir. Anies adalah juru bicara Jokowi. Jokowi jadi presiden, Anies diangkat jadi menteri. Karena (mungkin) kinerjanya kurang becus sebagai menteri pendidikan, maka Anies dibuang. Diambillah oleh Prabowo jadi calon gubernur DKI Jakarta. Anis menang. Dia tentu berterima kasih pada Prabowo.
Prabowo dan Anies punya komitmen. Selama Prabowo maju sebagai capres, Anies tidak akan berkhianat. Itu yang diungkapkan oleh Anies pada suatu acara televisi. Mungkinkah itu berlaku sampai sekarang? Bisa iya, bisa tidak. Sekarang Anies sudah 75 persen jadi politisi. Kembali ke awal, bahwa jangan terlalu percaya pada omongan politisi. Atau, Anies akan jadi tumbal politik demi ambisi Prabowo yang ingin nyapres lagi? Maukah Anies menumbalkan dirinya demi mendukung Prabowo? Atau Gerindra, PKS, dan Demokrat ramai-ramai dukung Anies jadi presiden? Terkait wakilnya, jangan AHY. Kasih dia belajar politik dulu.