Saat-saat Aidit Dihabisi
Selepas Peristiwa Berdarah 1965, Aidit, Ketua CC PKI melarikan diri dan bersembunyi. Ia diburu oleh tentara yang dikomandai oleh Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo. Ditangkaplah ia di salah satu daerah di Jawa Tengah. Tak lama setelah itu, ia eksekusi mati di kebun pisang. Beberapa tentara yang menangkap Aidit sempat berembuk, mau diapakan Aidit ini. Sang komandan mengatakan agar Aidit diselesaikan saja di belakang, maksudnya ditembak mati di kebun pisang.
Sesaat sebelum ditembak mati, Aidit masih mencoba mempengaruhi tentara-tentara itu, “Saya ini masih wakil ketua MPR, loh.” Tapi, ‘kan sudah terlanjur. Ya, sudah, selesailah riwayat Aidit.
Peristiwa penangkapan dan eksekusi Aidit menjadi simbol dari kerasnya dinamika politik kekuasaan. Dalam situasi tersebut, yang menjadi penentu adalah siapa yang berada di pihak yang menang, dan bukan lagi soal benar atau salah. Aidit, yang sebelumnya merupakan figur penting dalam politik Indonesia, tiba-tiba menjadi buruan negara. Setelah ditangkap, hidupnya diakhiri secara cepat dan senyap di kebun pisang, seolah menyimbolkan bahwa dalam politik kekuasaan, nasib manusia dapat diputuskan secepat itu—sesederhana instruksi untuk “menyelesaikan di belakang.”
Kejadian tersebut mencerminkan kenyataan bahwa dalam pertarungan politik, konsep benar dan salah sering kali memudar di tengah ketegangan kekuasaan. Yang tersisa hanyalah logika menang atau kalah. Aidit, yang pernah berada di puncak kekuasaan sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di Indonesia, harus menghadapi realitas pahit ketika kekuatan militer yang mengambil alih kendali. Ketika kekuasaan bergeser, mereka yang berada di pihak yang kalah tidak hanya kehilangan hak, tetapi juga sering kali kehilangan nyawa.
Narasi ini menegaskan bahwa politik tidak selalu berkaitan dengan moralitas, tetapi dengan kekuatan. Dalam sejarah politik dunia, terutama dalam konteks revolusi atau perebutan kekuasaan, pemenang menentukan aturan main. Sebagaimana ditunjukkan dalam tragedi yang dialami Aidit, mereka yang tidak siap menghadapi kekuatan yang lebih besar akan menjadi korban. Kredo “yang kuat yang berkuasa” kembali menjadi nyata, mengingatkan kita bahwa kekuasaan adalah permainan yang brutal, dan hanya mereka yang memiliki kekuatan untuk bertahanlah yang dapat mengklaim kemenangan.
Dalam kerangka tersebut, pertarungan politik mirip dengan permainan hidup dan mati. Jika kamu kuat, kamu berkuasa. Jika kamu lemah, kamu dihabisi. Dalam hal ini, bukan hanya Aidit yang menjadi korban kekuasaan, tetapi juga banyak figur politik lainnya dalam sejarah yang mendapati diri mereka diburu, dihancurkan, dan dilupakan ketika kekuatan berpindah tangan. Fakta ini menegaskan bahwa dalam dunia politik, kredo yang sebenarnya bukanlah soal benar atau salah, tetapi soal menang atau kalah.*
Sumber foto:teguhtimur.com/teguhsantosa