Khutbah Jum’at Kadang Membosankan

Jujur saja bahwa memang realitanya khutbah Jum’at kadang membosankan. Seandainya saya tidak takut akan potensi kehilangan pahala, saya hanya akan datang ke masjid pada saat menjelang salat. Faktanya ‘kan juga tidak sedikit yang datang pada saat menjelang salat.

Lagipula, coba Anda tanyakan kepada setiap orang yang datang salat Jum’at, berapa orang, sih, yang benar-benar khidmat mendengarkan khatib. Paling-paling hanya yang merasa diri sudah satu kaki di tanah alias mau mati yang benar-benar mendengarkan dengan khidmat. Atau, orang-orang yang sedang dalam fase bertaubat karena sudah lansia. Sebentar lagi check out, nih, maka mereka khidmat. Tapi kalau Milenial dan Z, kebanyakan sibuk omong sendiri dan sebagiannya lagi merokok di saat khatib berkhutbah. Tapi itu urusan lain. Urusan personal. Boleh jadi mereka yang kelihatan selengean adalah yang duluan masuk surga.

Mengapa kebanyakan orang acuh tak acuh mendengar khutbah Jum’at, termasuk saya? Ya, karena topiknya kadang (sering kali?) membosankan. Topiknya itu-itu saja untuk mengajak orang bertakwa. Apa salah mengajak orang bertakwa? Ya tidak salah. Hanya saja esensi ajakannya disampaikan dengan cara yang tidak menarik. Selain itu, topik khutbah tidak jauh-jauh dari ajakan salat, puasa, atau mengaji. Salahkah itu? Lagi-lagi tidak salah. Tapi persoalan hidup ‘kan bukan hanya salat dan ibadah ritual lainnya.

Kalau bisa topik khutbah Jum’at itu yang lebih menarik dan membuat orang berminat, tidak bosan, dan tidak menguap saat mendengarkan. Carilah topik yang lebih segar dan kontekstual dengan kehidupan sehari-hari.

Terkait ajakan untuk bertakwa, ‘kan bukan hanya dengan salat dan puasa. Memberi makan anjing juga adalah bagian dari ketakwaan kepada Allah.

Itulah mengapa praktik keagamaan kita hanya terkungkung dalam cangkang. Tidak berani berinovasi. Topik khutbah Jum’at sudah terdoktrin harus tidak jauh-jauh dari ibadah ritual. Padahal urusan hidup tidak sekadar itu.

Karena itu saya meminta pengurus masjid agar lebih egaliter dan inklusif dalam menentukan nama-nama khatib Jum’at. Realitanya hampir semua yang ditugaskan jadi khatib bergelar ustadz atau orang saleh. Bosan juga saya melihat gelar S.Ag, Lc, atau S.Pdi yang naik ke mimbar.

Cobalah undang preman, mantan narapidana, artis, tukang sampah, ilmuwan fisika, ahli bahasa, budayawan, polisi, tentara, penjual pecel lele, politisi, dan berbagai profesi untuk menjadi khatib Jum’at. Toh, mereka juga manusia yang berhak berbagi kebaikan lewat pengalaman hidupnya.

Bukankah esensi khutbah Jum’at adalah mengambil pelajaran dan hikmah dari setiap peristiwa dan fenomena untuk pada akhirnya mengajak orang untuk kembali ke esensi kebaikan.

Apa pengurus masjid ketakutan dinilai keluar pakem? Ya, susah kalau begitu. Maka jangan heran umat Islam, ya, kita ini tertinggal. Bisa jadi karena materi khutbah Jum’atnya yang begitu-begitu saja.

Bosan itu manusiawi. Cobalah lebih berinovasi. Umat Islam harus berpikir keluar dari cangkang. Kalau tidak, khutbah Jum’at hanya sekadar formalitas.

Coba, kalian yang merasa paling pintar, kritik dan sanggahlah tulisan saya di atas.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *