Kelemahan Film “Dirty Vote”

Film “Dirty Vote” mencoba mengurai tanda dan desain kecurangan menjelang Pemilihan Umum 2024. Ini harus mendapatkan penghargaan yang tinggi dari masyarakat sebagai salah satu wujud keterbukaan dalam demokrasi. Tetapi tidak dapat dihindari bahwa ada beberapa kelemahan yang saya identifikasi. Waktu rilis yang mepet dengan pemilihan dan diduga dan terkesan tidak netral untuk menyerang paslon tertentu dapat merugikan upaya film untuk menjadi sumber informasi yang andal dan netral. Ada buktinya? Salah satunya, di akhir film ada muncul tulisan “Salam 4 jari”. Dalam beberapa waktu, Salam 4 Jari merupakan gerakan dan ramai di media sosial untuk menggabungkan dua paslon untuk melawan satu paslon. Oleh karena itu, penting untuk membentuk pandangan yang lebih seimbang dan kritis terhadap situasi politik yang dihadapi.

Keputusan untuk merilis video tersebut hanya tiga hari sebelum pemilihan tidak memberikan cukup ruang dan waktu bagi pemilih untuk memverifikasi dan mengkaji data yang disajikan. Hal ini menciptakan ketidakpastian terkait kebenaran dan kevalidan informasi yang disampaikan dalam film. Data-data yang dihadirkan mungkin menjadi kunci untuk memahami potensi kecurangan, namun release menjelang pemilu dapat menciptakan ketidakpercayaan terhadap objektivitas film. Dalam konteks ini, kekurangan waktu untuk memeriksa dan menguji fakta mengurangi kredibilitas film sebagai sumber informasi yang dapat diandalkan.

Kelemahan lain terletak pada terkesan tidak netral dan menyerang paslon tertentu justru mempertanyakan netralitas produksi. Jika film ini memiliki kecenderungan mendukung atau merugikan paslon tertentu, hal tersebut dapat menciptakan bias dalam penyajian informasi. Netralitas adalah prinsip kunci dalam pengungkapan kecurangan pemilu, dan jika film ini tidak mempertahankan posisi netral, dampaknya bisa merugikan upaya untuk mengungkap kebenaran.

Analisis yang tidak netral dapat menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap informasi yang disampaikan, sehingga mengurangi efektivitas pesan yang ingin disampaikan oleh film. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi apakah pembuat film telah memastikan keseimbangan dan objektivitas dalam menyajikan fakta dan interpretasi.

 

Salah satu kritik saya terhadap film ini adalah fokus eksklusif pada “kecurangan” yang dilakukan oleh Jokowi, kerabatnya, dan bawahannya. Meskipun film ini memberikan gambaran detil tentang potensi kecurangan dari pihak tertentu, kelemahan muncul ketika film ini tidak memberikan analisis yang serupa terhadap pihak lain yang terlibat dalam proses pemilu.

Ketidakseimbangan dalam pemilihan subjek dapat menciptakan kesan bahwa film ini memiliki agenda tertentu atau berupaya memengaruhi opini publik dengan cara yang tidak adil. Untuk mencapai tujuan objektivitas, sebuah produksi harus memeriksa dan menganalisis potensi kekotoran pemilu dari semua pihak yang terlibat, tanpa pandangan prasangka terhadap salah satu paslon. Pentingnya merinci kecurangan dan ketidakberesan dari semua pihak adalah agar masyarakat dapat membentuk pemahaman yang menyeluruh tentang integritas pemilu. Film yang hanya memfokuskan pada satu sisi dapat memicu ketidakpercayaan dan menciptakan polarisasi dalam pandangan masyarakat terhadap politik.

Dalam merespons ketidakseimbangan ini, penonton perlu bersikap kritis dan mengingat bahwa kebenaran mungkin terletak di tengah-tengah, dengan perluasan analisis terhadap semua potensi kekotoran pemilu. Pemilihan yang adil dan transparan haruslah menjadi prioritas bagi semua pihak, dan film seharusnya memainkan peranannya dalam mendukung upaya tersebut dengan memberikan pandangan yang komprehensif.

Aspek kritis lainnya yang diidentifikasi dalam film “Dirty Vote” adalah cara pembuatnya mem-framing Jokowi sebagai sosok yang haus akan kekuasaan. Meskipun film ini memberikan klaim dan tindakan yang mendukung pandangan ini, perlu dicatat bahwa keputusan politik dan pernyataan publik Jokowi juga menunjukkan sikap yang berbeda. Jokowi secara tegas menolak ide 3 periode, sebuah tindakan yang menunjukkan komitmen terhadap prinsip demokrasi dan batasan masa jabatan.  Hal ini kontradiktif dengan narasi film yang mencoba membangun citra Jokowi sebagai sosok yang tidak terbatas oleh prinsip-prinsip demokrasi.

Selain itu, serangkaian pernyataan Jokowi yang menegaskan keinginannya untuk kembali menjadi rakyat biasa dan kembali ke Solo menunjukkan bahwa aspirasinya tidak semata-mata terfokus pada kekuasaan. Terlepas dari gaya politik Jokowi yang sebagai “neo raja Jawa”: kadang apa yang diungkapkan tidak seperti apa yang ada di hati. Namun, film tampaknya tidak memberikan ruang yang cukup untuk merinci atau menyajikan nuansa kompleks dari sikap dan pernyataan tersebut.

Penonton perlu menyadari bahwa framing yang dilakukan dalam film bisa saja bersifat selektif dan memanipulatif. Kritik terhadap framing yang berlebihan atau tidak akurat adalah langkah penting dalam mengembangkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap karakter dan motivasi politik seseorang.

Seiring dengan itu, dalam menilai karakter dan niat politisi, penonton perlu menyusun pandangan mereka dengan mempertimbangkan berbagai tindakan dan pernyataan yang ada, dan tidak hanya bergantung pada satu narasi yang dihadirkan dalam sebuah produksi film.

Penting juga untuk mencermati langkah-langkah politik yang diambil oleh Jokowi sebelum terjadinya koalisi yang mendukung pemilihan Gibran sebagai calon wakil presiden. Salah satu fakta menarik adalah bahwa Jokowi sebelumnya telah mencoba beberapa kombinasi pasangan calon wakil presiden dengan Prabowo Subianto, yang merupakan langkah politik yang strategis dan menarik perhatian.

Pertama, Jokowi mempertimbangkan pasangan dengan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, yang merupakan sosok yang memiliki popularitas dan dukungan kuat di tingkat regional. Langkah ini menunjukkan upaya Jokowi untuk membangun koalisi lintas partai dan mendapatkan dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat. Kemudian, mencoba pasangan dengan Cak Imin, tokoh dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), adalah langkah untuk menggandeng partai politik yang memiliki basis massa Islam yang kuat. Ini juga mencerminkan strategi untuk memperluas basis dukungan dan membangun aliansi yang kuat dalam pemilihan presiden. Terakhir, pernah mengusulkan Erik Tohir, seorang pengusaha sukses dan pemimpin organiasi olahraga, memberikan dimensi baru pada upaya Jokowi untuk menyatukan berbagai elemen masyarakat dengan menggandeng sosok yang memiliki latar belakang dan basis dukungan yang berbeda.

Meskipun semua upaya tersebut tidak berhasil—dan oleh pihak tertentu dianggap sebagai formalitas—hal ini menunjukkan bahwa Jokowi secara aktif berusaha untuk membentuk koalisi yang kuat dan mendapatkan dukungan luas sebelum akhirnya memutuskan untuk mendukung Gibran. Fakta ini mencerminkan dinamika politik yang kompleks dan strategi yang terlibat dalam proses pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden.

Tapi apa pun dan bagaimana pun inti dan pesan yang disampaikan oleh Dirty Vote, beginilah politik itu. Saya mengapresiasi munculnya film ini. Begini dan begitulah baku hantamnya. Siapa yang kuat, dia yang menang. Etika, fatsun, atau apalah nama yang serupa dengan itu hanyalah omong kosong. Setiap dari mereka yang terlibat dalam politik praktis adalah yang siap memakan lawannya dengan cara-cara yang paling efektif untuk naik ke atas. Halal dan haram itu urusan nanti. Sebagian atau kebanyakan dari mereka yang terlibat pada politik praktis seketika akan melupakan Tuhan, berikut dengan ancaman-ancaman karena berlaku buruk. Kalau Anda jadi politisi, apakah akan menggunakan cara-cara yang tidak melanggar norma, etika, dan apalah yang serupa dengan itu?

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *