Sudahlah AHY, Tahulah Diri
Sebenarnya semua ini imbas dari ambisi SBY yang memaksa mendorong anaknya jauh melangkah ke puncak kekuasaan negeri ini. Dari sisi sosok bapak, tentu ingin anaknya jauh lebih sukses. Tapi dari sisi tahu diri terhadap pengalaman politik, AHY ini seperti pisang yang matangnya pakai karbit. Kalau orang lain mau jadi ketua umum (ketum) partai, harus ada pengalaman meniti karir dari bawah. AHY tidak begitu. Dia pakai jalur privelege bapaknya. By pass, dia. Mungkin itulah yang tidak disukai oleh Jhoni Allen Marbun, dkk.
PD ini ‘kan seharusnya partai milik rakyat, bukan milik keluarga SBY. Mungkin itu pula yang membuat Saan Mustopa, dkk keluar dari PD. Mereka boleh jadi mencium gelagat PD akan dijadikan wadah dan alat untuk melanggengkan kekuasaan bagi dinasti SBY. Terkait Anas Urbaningrum, dulunya saya menyalahkan dia, tapi makin ke sini, saya makin paham sikap dia. Ada benarnya juga itu. Dia melawan ketidakadilan atas dirinya. Ini terlepas dari kasus korupsi yang dilakukannya.
Sejak tahun 2006 (baru kelas 1 SMA), saya mengagumi SBY dan kemudian menjadi simpatisan PD, tapi semenjak AHY jadi ketum, saya tidak bersimpati lagi. AHY dipilih secara aklamasi, katanya. Itu benaran aklamasi atau sengaja didesain agar tak boleh ada orang lain yang berani nyalon ketum? Kalau pun ada yang berani, apa tidak dikucilkan? Apakah itu tidak menyalahi nilai-nilai seorang yang berpikir demokrat?
AHY ini ‘kan sebenarnya anak baru kemarin sore di politik praktis. Dia masih miskin pengalaman. Tapi ia berhasil menjadi ketum. Apakah tidak ada orang yang jauh lebih berpengalaman dan berkompeten memimpin PD? Ada, bahkan banyak. Tapi orang-orang di sekitar SBY terus memuji, memuji, dan memberi angin segar seolah-olah AHY ini punya kemampuan lebih dari yang lain. Coba kita lihat nanti pembuktiannya, mampukah ia menaikkan suara PD di 2024? Kalau tidak mampu, ya, undur diri saja. Jangan justru mencari pembenaran.
Anda masih ingat TGB yang orang Lombok itu? Itu ‘kan dulunya kader PD yang cukup bersinar. Karena mungkin diidentifikasi akan menyaingi sinar AHY, kawan ini terkucilkan. Undur dirilah dia. Dia minta bertemu SBY, tapi dihindari.
Tapi mana ada yang berani. AHY, bagi mereka, itu pemimpin revolusioner dan tanpa cela. Tapi saya yakin ada juga kader PD yang ngedumel dalam hatinya. Tapi, apa mau dikata, mereka punya periuk dan perut yang harus diselamatkan. Kalau berani lawan, ya, dikucilkan perlahan-lahan.
Seperti yang saya katakan pada tulisan sebelumnya, kalau pemimpin dikelilingi oleh pemuji irasional dan penjilat, maka ia akan merasa diri tanpa kekurangan. Saya tidak mengatakan AHY dikelilingi oleh penjilat. Tapi cobalah orang-orang di PD itu berani omong apa adanya. Ada tidak kemarin yang berani omong, “AHY, Anda itu jangan mau dipaksa atau memaksakan diri jadi cawapres. Anda harus tahu diri pengalaman Anda masih minim. Belajarlah dulu”. Pasti tidak ada. Andi Mallarangeng saja yang saya tahu pintar, idealis, dan kritis, eh, sekarang ikut-ikutan tidak rasional dan jadi kambing congek memuji dan membenarkan sikap AHY. Tapi saya paham, mana berani dia menentang dan berbeda pendapat dari SBY.
Saya dapat memahami sikap Surya Paloh. Beberapa bulan lalu ‘kan, PD ini maunya KPP segera mendeklarasikan cawapres Anies. Tapi NasDem tidak mau terburu-buru. Kalau memaksakan AHY jadi cawapres, Anies tidak akan menang. Itu sangat realistis. Tujuannya untuk menang. Jadi, bagaimana caranya pendamping Anies ini dapat mendongkrak elektabilitas Anies. NasDem ragu AHY mampu mewujudkan itu.
Lalu kemudian, Surya Paloh bertemu Cak Imin. Itu realistis. Ada harapan suara NU diberikan ke Anies-Gus Imin. Ini sebenarnya Cak Imin sudah jadi gus atau tidak? Kadang cak, kadang gus, mungkin sebentar lagi dipanggil kiyai.
Sudahlah AHY, Anda harus tahu diri. Kalau memang untuk kepentingan bangsa dan negara, ya, jangan mengotot. Anda memang mencitrakan diri tidak mengotot, tapi masyarakat bisa melihat sikap Anda yang ingin sekali jadi cawapres. Jauh sebelum beredar surat singkat Anies kepada Anda terkait meminta kesediaan sebagai cawapres, Anda pun sudah lama mau jadi cawapres. Cobalah berpikir realistis. Jangan diplomatis terus. Masih ada orang-orang yang jauh lebih baik dari Anda untuk menjadi cawapres.
Atau jangan-jangan NasDem kesal karena PD cukup sering mengancam keluar dari KPP? Ya, sekarang sudah dapat bagianmu.
Besok-besok, kalau suara PD turun di bawah kepemimpinan Anda, undurlah diri jadi ketum. Berilah kepercayaan kepada orang lain yang lebih mampu dari Anda. Jujur pada kemampuan diri, gitu, loh. Jangan-jangan mau diserahkan adik Anda yang namanya EBY itu? Bersikaplah dengan tepat demi kebaikan PD.