Jokowi, Si Profesor Politik

Harus diakui, suka atau tidak suka, saat ini, Jokowi adalah profesor politik di Indonesia. Harap kamu bisa bedakan antara profesor politik dan profesor ilmu politik. Jangan bodoh. Masak, membedakan dua term ini saja tidak bisa. Kalau profesor ilmu politik itu adanya di kampus. Mereka pintar berteori ilmu politik, tapi belum tentu cerdik di politik praktis. Buktinya, tidak sedikit profesor (ilmu politik) yang keok ketika mengikuti kontestasi politik, entah itu pileg, pilkada, atau pilgub. Mereka pandai secara teori, tapi belum tentu kuat berbaku hantam di lapangan politik praktis.

Siapa politisi terkuat di Indonesia saat ini? Ya, Jokowi. Menang dua kali di Pilwakot Solo, sekali di Pilgub DKI Jakarta, dan dua kali di pilpres. Tidak ada politisi yang mampu memenangkan setiap kontestasi politik sebanyak itu di Indonesia. Artinya apa? Jokowi disenangi oleh mayoritas masyarakat, baik di Solo, DKI Jakarta, maupun se-Indonesia raya. Tapi, fakta ini akan sulit diterima oleh pembenci Jokowi. Hati mereka pasti gusar mendengar fakta ini. Sama halnya dengan pembenci Messi yang enggan sekali mengakui bahwa the little kid from Rosario itu adalah pemain sepak bola terbaik di dunia.

Tidak mungkin seorang politisi dapat memenangkan semua pertarungan yang ia ikuti dari tingkat daerah sampai pusat kalau ia tidak cerdas, pintar, cerdik, dan licik secara politik. Loh, kok, licik? Mana ada, sih, politisi yang tidak licik. Kalau tidak licik menenggelamkan lawan, ia tidak akan mencapai kekuasaan. Licik memang dibutuhkan dalam politik praktis. Kamu tidak usah naif atau sok lugu.

Mereka yang tidak suka Jokowi adalah: satu, yang calon yang didukungnya dipecundangi oleh Jokowi di setiap kontestasi politik; dua, yang tidak senang Jokowi menang pada Pilpres 2019; dan tiga, yang saat ini calon yang mereka dukung sedang dihadang oleh Jokowi. Nah, kamu masuk kelompok pembenci kategori yang mana? Satu, dua, atau tiga?

Bagaimana dengan yang mengkritik keras Pemerintahan Jokowi? Oh, itu pasti orang-orang pintar dan yang dewasa berpolitik. Mereka tidak menyerang pribadi Jokowi dengan isu-isu kampungan seperti keturunan komunis atau ijazah palsu, tapi mempreteli kebijakannya. Itulah mengapa terdapat perbedaan antara pembeci dan pengkritik. Pengkritik menggunakan otak dan rasionalitasnya, sedangkan pembenci menggunakan dengkul kebodohan dan hatinya yang kotor. Saya juga tidak yakin bahwa pembenci adalah mereka yang sudah dewasa.

Salahkah Jokowi menghadang lawan politiknya? Ya, tidak salah. Begitulah politik praktis. Setiap orang mengatur siasat agar menang dan menghabisi lawannya. Kalau tidak mau dihadang, ya, jangan terjun ke politik praktis. Bermental cengeng dan mudah baper tidak cocok terjun ke kandang singa politik, di mana di sana setiap orang saling makan.

Begitulah Jokowi, si profesor politik itu. Saya yakin saat ini ia sedang menikmati perannya sebagai king maker untuk meng-endorse figur yang dapat dipercaya menjadi penerusnya dan menghabisi figur yang diidentifikasi berpotensi mengancam keberlanjutan program-programnya.Kamu bagaimana nanti di Pilpres 2024? Masih membenci Jokowi?

Saya sudah siap menerima risiko dinilai cebong karena membuat tulisan ini. Para pembenci Jokowi tidak suka bicara apa adanya dan menggunakan fakta untuk bicara.

Tapi memang begitulah adanya: kamu dapat mengalahkan 30 profesor dengan satu fakta, tapi sungguh mustahil mengalahkan satu orang bodoh dengan 30 fakta.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *