Kuesioner, Kok, Bertele-tele

Cara berpikir kebanyakan dari kita orang Indonesia itu, ya, panjang dan lebar, tapi isinya sedikit. Kalau bicara, berputar-putar dan banyak basa-basinya dulu. Maka jangan heran, sebagian skripsi dan tesis yang disusun oleh mahasiswa, lebih banyak basa-basi dan berputar-putarnya, padahal isinya cuman sedikit.

Bab kajian teori bisa mencapai 40 halaman, sedangkan bab analisis dan pembahasan hanya 20 halaman. Dulu, skripsi Anda berapa halaman? Bab dua atau kajian teorinya apakah lebih banyak atau sedikit dari analisis dan pembahasan?

Tambah pusing lagi ketika kampus mengharuskan jumlah minimal skripsi. Ada, toh, kampus yang mematok skripsi harus minimal 75 halaman. Apakah Anda pernah dipaksa harus menyusun minimal 70 halaman? Apa saja yang Anda tulis di situ?

Untuk menyiasati itu, para mahasiswa melakukan copy paste demi memperbanyak kajian teori. Yang penting tebal, persoalan ada relevansinya dengan skripsi bukan menjadi soal. Begitulah budaya formalitas di negara dan bangsa kita ini. Tebal dan banyak itu prioritas. Berkualitas atau tidak itu urusan belakangan.

Cara berpikir orang Indonesia juga hampir selalu mengasosiasikan segala hal yang secara jumlahnya banyak, dianggap berkualitas. Padahal banyak belum tentu berkualitas. Maka jangan heran, makin banyak sekolah yang dibangun, kualitas pendidikan, ya, begini-begini saja. Anda tidak usah bersikap lugu, naif, atau pura-pura tutup mata dengan terminologi “begini-begini saja”. Contoh: Banyaknya sekolah  yang dibangun di sebuah kecamatan, alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan, justru makin menegangkan persaingan kurang sehat antarsekolah.

Menjelang ajaran baru begini, sekolah-sekolah sudah turun ke masyarakat untuk mencari murid. Beda dengan dulu. Sekolah masih punya wibawa. Orang tua murid yang datang ke sekolah untuk mendaftarkan anak-anaknya.

Tapi kalau tidak begitu, kegiatan operasional vakum. Untuk melancarkan kegiatan marketing sekolah itu, sebagian sekolah mengiming-imingi calon murid dengan beasiswa dan subsidi potongan biaya. Itu sekolah, atau jualan barang pecah belah.

Dalam menyusun kuesioner juga begitu. Sebagian mahasiswa dan dosen terjebak pada formalitas berpikir, makin banyak jumlah item kuesionernya, dianggap makin berkualitas penelitiannya. Padahal tidak begitu. Seharusnya mereka itu memikirkan juga psikologi responden.

Pertanyaan kuesioner nomor 1-5, orang masih ikhlas untuk menjawab. Masuk nomor 6-10, orang sudah menguap-nguap. Apalagi masuk nomor 11-15, responden sudah bosan dan boleh jadi dalam hatinya mencaci, “Bajingan sekali si dosen dan mahasiswa ini. Bikin kuesioner, kok, banyak-banyak.”

Seharusnya dalam menyusun kuesioner, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial humaniora, haruslah singkat, padat, dan jelas. Jangan bertele-tele. Responden bisa bosan. Kalau responden bosan, mereka asal mengisi. Rusaklah hasil penelitian itu. Tapi faktanya tidak begitu; sebagian dosen dan mahasiswa memaksakan kehendak dan mengandalkan intellectual arrogance-nya. Kuesioner disusun dalam jumlah yang banyak, lalu mengharapkan responden mau mengisi dengan baik dan sabar. Ya, tidak bisa begitu.

Ada beberapa mahasiswa dan dosen yang saya lihat terjebak pada budaya formalitas ini. Kendati kuesioner diadopsi dari penelitian orang luar, eh, tetap saja mahasiswa diminta menambah item pertanyaannya. Itu, sih, bukan adopsi. Tapi pengembangan.

Saya pribadi suka dengan penelitian-penelitian atau jurnal-jurnal sosial humaniora bikinan orang luar, karena kuesioner yang mereka susun tidak bertele-tele. Langsung to the point.

Kalau Anda menyusun kuesioner, coba bayangkan ada di posisi responden. Kira-kira kalau pertanyaannya lebih dari sepuluh item, apakah masih bersabar? Kalau saya sudah mencak-mencak.

Tulisan ini hanya akan ditentang oleh mereka yang punya budaya formalitas dan cara berpikir yang bertele-tele. Ada yang mau bantah? Saya tunggu.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *