Lain Soeharto, Lain Jokowi

Beda Soeharto, beda Jokowi. Kendati sama-sama raja Jawa, keduanya punya cara atau intrik yang berbeda untuk memukul dan memberi pelajaran kepada lawan atau yang berpotensi menjadi lawan politiknya.

Setidaknya dari keduanya kita dapat memahami gaya orang Jawa memimpin. Orang model Luhut yang Batak atau Jusuf Kalla yang Bugis, kalau tidak suka dengan orang, mereka langsung ungkapkan di depan orangnya. “Hey, kau jangan sembarang omong” dan “Itu gaya kampungan” adalah kalimat yang kadang dikatakan Luhut kepada orang yang menyinyir pemerintah tanpa data. Itu gaya dan budaya terus terang a la Batak dan Bugis. Tidak mungkin kita mendengar itu dari pemimpin (orang) Jawa. Kalau orang Jawa sedang marah dan kesal sekali, beberapa dari mereka mengatakan “Asu!” atau “Sontoloyo” pada orang yang membuat mereka kesal. Tapi itu sangat jarang. Mereka masih dengan gaya santunnya.

Kalau orang non Jawa sedang marah, bisa kelihatan dari mukanya. Muka orang non Jawa kalau marah bak muka gerobak, kata mendiang Prof. Sahetapy. Beda dengan orang Jawa, kalau senang, ya, senyum, kalau marah pun masih tetap senyum. Mereka pandai mengendalikan air mukanya. Sebagian orang dibuat bingung, ini orang sedang marah atau senang. Hal ini pun membuat orang sering terkecoh karena “marah style” orang Jawa tidak bisa diprediksi.

Terkait kepemimpinan Jawa, itulah yang membuat mereka sedikit unggul dari orang non Jawa. Masalah kapabilitas sebenarnya sama saja. Hanya saja selama ini orang non Jawa belum mendapatkan kesempatan untuk menjadi presiden. Pemimpin Jawa mampu mengendalikan emosi. Itu bagus. Meskipun di sisi lain kelemahan pemimpin Jawa adalah mudah simpati dengan orang lain yang mana orang itu bisa menjadi musuh dalam selimut di kemudian hari. Pemimpin Jawa sering lengah karena mudah simpatinya ini. Kelemahan lain adalah terkesan lembek dan lamban. Mereka punya filosofi alon alon asal kelakon. Itu sebenarnya baik, tapi tidak selamatnya cocok untuk menghadapi orang Indonesia dengan beragam karakter.

Kembali ke soal cara Soeharto dan Jokowi dalam memukul lawan. Soeharto adalah raja Jawa dengan latar belakang militer, sedangkan Jokowi adalah orang sipil. Cara berpolitik dan memukul lawan pun agak beda. Karena keduanya orang Jawa, maka kesantunan tetap ditonjolkan. Bahkan, ketika memukul lawan pun,  kesantunan ini sering dijadikan senjata dan strategi. Cara ini justru jauh lebih menjerakan dan mengena karena terkesan baik dan senyap.

Kalau Soeharto ingin memberi pelajaran kepada lawan politiknya, ia biasa menggunakan “tukang pukul”-nya seperti Soedomo, Ali Moertopo, L.B. Moerdani, dan anak buahnya yang banyak itu. Soeharto tidak akan turun tangan langsung. Ia akan pakai tangan orang-orang itu untuk memberi pelajaran kepada lawan politiknya. Anak buah dulu yang maju untuk selesaikan. Kalau anak buah tidak mampu, dia sendiri yang turun tangan.

Cara Soeharto yang terkesan bar-bar ini menimbulkan efek jera dan masyarakat bisa mengidentifikasi garis batas yang jelas terhadap mereka yang jadi lawan politik Bos Besar dan yang bukan. Anda pernah ‘kan mendengar cerita lawan politik Soeharto yang dicekal keluar negeri atau sekadar menjadi pembicara di seminar saja tidak diberi izin. Orang-orang seperti Nasution. Hoegeng, Hatta, dll adalah yang pernah dipukul secara politik oleh Soeharto lewat tangan para “tukang pukul”-nya.

Uniknya, kalau orang menanyakan langsung ke Soeharto, ia akan mendapatkan jawaban bahwa Soeharto tidak melakukan itu. Tapi, kembali lagi ke gaya kepemimpinan raja Jawa: Ketika tangan tangan melakukan sesuatu, tangan kiri tidak diberitahu.

 Cara Soeharto beda dengan Jokowi. Kalau Jokowi, kata Panda Nababan, memukul dan memberi pelajaran kepada lawan politik dengan cara menggunakan dendam. Caranya sedikit unik, yaitu mengucilkan atau mengeluarkannya dari lingkarannya. Contoh nyata adalah Anies dan Gatot (mantan Panglima TNI). Anies dikeluarkan dari lingkarannya karena Jokowi mengidentifikasi Anies lebih dekat (dan loyal?) ke Jusuf Kalla. Untuk Gatot, sepertinya Jokowi mengidentifikasinya akan menjadi orang yang berpotensi jadi lawan. Maka diberhentikanlah Gatot dari panglima TNI sebelum waktunya. Atau yang paling terbaru ini, Jokowi tidak memberi ucapan selamat ulang tahun ke Partai NasDem. Itu sebenarnya bisa dibaca sebagai upaya Jokowi yang mengidentifikasi Paloh, dkk yang terkesan tidak loyal pada komitmen koalisi.

Jokowi tidak pakai “tukang pukul” tapi menggunakan kesantunannya dan naluri Jawa-sipilnya untuk memberi pelajaran kepada lawan politiknya.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *